Jakarta, blessedbeyondwords.com – Pernahkah kamu menyantap makanan yang seakan membawamu mundur ke masa lalu? Bukan sekadar karena rasanya yang otentik, tapi karena setiap suapannya terasa seperti narasi panjang sejarah. Nah, itulah yang dirasakan banyak orang ketika mencicipi Ketan Bintul — makanan khas Banten yang tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga membangkitkan memori budaya.
Ketan Bintul bukanlah sekadar sajian tradisional. Ia adalah warisan Sultan. Konon, makanan ini sudah eksis sejak zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Saat itu, ketan bintul disajikan untuk para bangsawan dan prajurit sebagai hidangan sahur saat bulan Ramadan. Kabarnya, makanan ini dianggap sebagai penambah tenaga karena kombinasi ketan yang padat dengan serundeng daging sapi atau kerbau yang gurih.
Anehnya, dulu makanan ini hanya tersedia saat bulan puasa. Tapi seiring waktu dan maraknya semangat kuliner lokal, ketan bintul kini bisa dinikmati kapan saja. Banyak pedagang kaki lima di Serang yang mulai menyajikannya sebagai menu sarapan atau camilan sore.
Kalau kamu pernah main ke alun-alun Kota Serang, pasti kenal dengan sosok Ibu Yani — penjual ketan bintul legendaris yang setiap pagi sudah siap dari jam lima subuh. Ia berkata, “Bukan cuma jualan, saya ini jaga warisan.” Kalimat itu seperti mantra yang menghidupkan lagi semangat orang-orang untuk mengenal lebih dalam arti dari sepotong ketan dengan taburan serundeng itu.
Komposisi Sederhana, Rasa yang Berlapis-Lapis
Sekilas, ketan bintul tampak sederhana. Sepotong ketan putih yang dipadatkan, ditaburi serundeng kelapa dan disajikan bersama suwiran daging atau empal. Tapi jangan salah — perpaduan inilah yang menjadikannya istimewa. Ada harmoni antara rasa gurih, manis, dan tekstur lengket yang menggoda lidah.
Mari kita bedah sedikit.
Ketan:
Biasanya menggunakan beras ketan putih yang direndam selama beberapa jam, lalu dikukus hingga matang. Proses ini tidak bisa buru-buru. Kalau terlalu cepat, tekstur ketannya akan keras atau malah terlalu lembek. Rahasianya ada di uap panas yang pas dan waktu mengukus yang presisi.
Serundeng:
Terbuat dari kelapa parut yang disangrai dengan bumbu lengkap — bawang putih, ketumbar, kemiri, gula merah, garam, dan kadang diberi sedikit daun jeruk. Beberapa versi modern menambahkan ebi atau abon agar rasa lebih “nendang”.
Pelengkap:
Di masa lalu, serundeng disajikan polos. Tapi kini, para penjual mulai menambahkan irisan empal, daging kerbau, bahkan sambal goreng agar lebih cocok dengan selera masa kini. Ada juga versi pedas manis untuk generasi muda yang doyan cita rasa fusion.
Hal menarik lainnya: meskipun sederhana, makanan ini ternyata mengenyangkan dan kaya gizi. Kombinasi karbohidrat dari ketan dan protein dari daging serta kelapa menjadikannya menu sarapan yang sempurna.
Dari Tradisi ke Tren — Ketan Bintul di Era Modern
Seiring bergesernya gaya hidup, banyak makanan tradisional yang tenggelam oleh tren kuliner global. Tapi Ketan Bintul justru melakukan hal sebaliknya — ia bangkit kembali. Bahkan, beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat geliat ketan bintul sebagai ikon baru kuliner Banten yang menjangkau hingga ibu kota.
Kisah sukses datang dari seorang barista muda bernama Arga di Tangerang. Ia memadukan kopi susu kekinian dengan ketan bintul sebagai menu sarapan di gerainya. Awalnya hanya iseng karena ingin membawa “sentuhan rumah” ke bisnis kopinya. Tapi siapa sangka, pelanggan malah datang bukan cuma karena kopi, tapi karena ketan bintulnya.
“Nggak nyangka, bro. Ternyata banyak yang nostalgia sama ketan bintul. Bahkan ada yang baru tahu makanan ini dari sini,” ujar Arga sambil tertawa.
Hal ini menandakan bahwa anak muda pun sebenarnya masih punya selera lokal — asalkan disajikan dengan cara yang relevan. Dalam hal ini, estetik jadi kunci. Penyajian yang rapi, visual yang menarik, dan kemasan yang kekinian membuat ketan bintul bukan cuma makanan tradisional, tapi juga produk lifestyle.
Beberapa startup kuliner juga mulai menjual ketan bintul dalam kemasan frozen. Bisa dikirim antar kota, disimpan di freezer, lalu tinggal dikukus saat ingin dimakan. Gaya hidup serba cepat, rupanya tidak membunuh makanan ini, justru mendorongnya untuk beradaptasi.
Simbol Identitas dan Kebanggaan Kuliner Daerah
Banten, yang kadang kurang diekspos dalam peta kuliner nasional, seolah menemukan titik terang lewat eksistensi ketan bintul. Makanan ini jadi simbol identitas. Ia membuktikan bahwa daerah punya kekayaan rasa yang tak kalah dengan rendang dari Padang atau gudeg dari Yogyakarta.
Pemerintah daerah pun mulai menyadari hal ini. Beberapa festival kuliner rutin diselenggarakan setiap tahun di Serang, Pandeglang, hingga Cilegon. Ketan bintul hampir selalu jadi bintang utama. Bahkan dalam program pariwisata lokal, ketan bintul kini ditawarkan sebagai “souvenir rasa”.
Di sekolah-sekolah, ketan bintul mulai diperkenalkan dalam kegiatan edukasi budaya lokal. Anak-anak diminta membuat sendiri, lalu menceritakan proses dan sejarahnya. Ini semacam cara soft untuk menghidupkan kembali kecintaan terhadap kuliner daerah.
Banyak masyarakat lokal juga mulai menyadari bahwa pelestarian budaya tak melulu lewat tari atau musik. Kuliner adalah cara paling gampang dan nikmat untuk melestarikan warisan. Karena siapa sih yang nolak makanan enak?
Resep Keluarga yang Menjadi Jembatan Generasi
Setiap keluarga di Banten biasanya punya versi ketan bintul masing-masing. Ada yang lebih manis, ada yang gurih banget. Ada yang suka serundeng kering, ada yang basah dan berminyak. Semuanya benar, semuanya sah.
Contoh menarik datang dari rumah keluarga Soleh, warga Serang. Keluarga ini punya resep ketan bintul yang diwariskan secara lisan sejak kakek buyut mereka jadi juru masak di lingkungan Kesultanan Banten. Kini, cucu-cucu Soleh membuat ketan bintul bukan cuma untuk jualan, tapi juga untuk menjaga nilai kekeluargaan.
“Setiap Lebaran, kami bikin bareng. Anak-anak bantu ngukus, ibu-ibu bikin serundeng, bapak-bapak ngurus pemotongan daging. Rasanya bukan cuma enak, tapi juga hangat,” kata Fina, salah satu cucunya.
Apa yang mereka lakukan terasa sederhana, tapi sebetulnya sangat mendalam. Di era ketika makanan cepat saji mendominasi, menyempatkan waktu untuk bikin ketan bintul dari nol adalah bentuk cinta — pada keluarga, budaya, dan rasa.
Dalam konteks yang lebih luas, makanan seperti ketan bintul adalah pengikat identitas. Ketika dunia bergerak cepat, makanan seperti inilah yang membuat kita tetap terhubung dengan akar.
Penutup:
Ketan Bintul bukan sekadar makanan. Ia adalah representasi rasa, sejarah, dan jiwa dari masyarakat Banten. Dari halaman keraton, ke meja sarapan modern, ia menempuh perjalanan panjang tanpa kehilangan esensinya. Mungkin tampilannya sederhana, tapi di baliknya ada warisan yang kaya dan layak dirayakan.
Kalau kamu belum pernah mencobanya, sempatkanlah. Cari penjual legendaris di Serang, atau pesan versi frozen-nya dari UMKM lokal. Karena begitu kamu mencicipi, kamu tak hanya merasakan ketan dan serundeng — kamu sedang menyantap sepotong sejarah.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Matcha Ice Cream: Sensasi Manis Pahit yang Susah Dilupain!