Jakarta, blessedbeyondwords.com – Ketika berbicara tentang kuliner Betawi, kebanyakan orang langsung menyebut soto Betawi, kerak telor, atau nasi uduk. Namun, ada satu hidangan yang namanya jarang terdengar di meja makan modern: Ketupat Babanci Jakarta. Makanan ini bukan sekadar sajian, melainkan warisan budaya yang kaya makna dan sarat sejarah.
Ketupat Babanci pernah menjadi primadona pada acara besar warga Betawi. Hidangan ini kerap hadir saat perayaan Idul Fitri, menjadi simbol syukur dan kebersamaan. Namun kini, keberadaannya bisa dibilang hampir punah. Banyak generasi muda Betawi bahkan belum pernah mencicipinya.
Konon, sebutan “babanci” diambil dari istilah lama yang berarti “tidak jelas”—karena memang susah dikelompokkan, apakah ia gulai, soto, atau kare. Kuahnya kental, berbumbu rempah yang rumit, disajikan bersama ketupat dan potongan daging sapi. Rasanya gurih, pedas, sedikit asam, dengan aroma yang kaya.
Ada sebuah anekdot menarik dari seorang budayawan Betawi: dulu, Ketupat Babanci Jakarta dianggap sebagai makanan “elit kampung” karena bumbunya mahal dan sulit didapat. Hanya keluarga tertentu yang bisa menyajikannya secara lengkap. Tak heran, makanan ini lama-lama menghilang, tergeser oleh menu yang lebih praktis.
Sejarah dan Filosofi di Balik Ketupat Babanci Jakarta
Sejarah Ketupat Babanci Jakarta tidak bisa dilepaskan dari percampuran budaya yang membentuk identitas Jakarta. Betawi sendiri adalah hasil akulturasi antara Melayu, Arab, Tionghoa, hingga Belanda. Maka, tidak mengherankan bila kuliner Betawi penuh warna.
Ketupat Babanci diperkirakan lahir pada masa kolonial, ketika rempah-rempah dari berbagai daerah Nusantara berkumpul di Batavia. Hidangan ini diyakini sebagai bentuk kreativitas masyarakat lokal yang menggabungkan rempah-rempah mahal ke dalam satu kuah megah.
Simboliknya pun menarik. Ketupat, dengan bentuk segi empat yang dianyam dari janur, melambangkan kesucian hati dan kemenangan setelah berpuasa. Sementara kuah rempah yang kompleks merefleksikan keberagaman masyarakat Betawi itu sendiri—ramai, padat, tapi tetap harmonis.
Ada catatan menarik: dulu, Ketupat Babanci Jakarta hanya dimasak saat Lebaran pertama. Hari kedua, menu berubah menjadi opor ayam atau semur. Hal ini menunjukkan betapa sakralnya kedudukan Ketupat Babanci bagi warga Betawi tempo dulu.
Rahasia 21 Bumbu Rempah dalam Kuah Ketupat Babanci
Keunikan Ketupat Babanci terletak pada kuahnya. Bayangkan saja, untuk satu panci kuah, dibutuhkan sekitar 21 macam rempah. Sebagian besar bahkan kini sulit ditemukan di pasar modern.
Beberapa di antaranya termasuk:
-
Biji pala
-
Kemiri
-
Ketumbar
-
Jintan putih
-
Kapulaga
-
Serai
-
Lengkuas
-
Daun jeruk
-
Kayu manis
-
Keluwak (yang juga jadi ciri khas rawon)
Selain itu, ada rempah eksotis seperti kedaung, botor, dan lempung yang sudah jarang dijual bebas. Rempah-rempah inilah yang membuat kuah Ketupat Babanci terasa berbeda dari gulai biasa.
Proses memasaknya pun tidak main-main. Semua bumbu harus disangrai, ditumbuk, lalu dimasak perlahan agar cita rasa keluar maksimal. Setelah itu, kuahnya dimasak bersama santan kental hingga pekat dan harum. Barulah potongan daging sapi dimasukkan.
Seorang juru masak Betawi pernah bercerita, “Bikin Ketupat Babanci itu bukan soal bisa atau tidak, tapi mau atau tidak. Kalau mau, harus rela meluangkan waktu seharian di dapur.”
Mengapa Ketupat Babanci Hampir Punah?
Ada beberapa alasan mengapa makanan legendaris ini kini langka:
-
Bahan baku sulit didapat. Banyak rempah yang dulu lazim dijual kini tidak lagi tersedia di pasar.
-
Proses memasak yang panjang. Dibutuhkan waktu berjam-jam untuk menyiapkan kuah. Generasi muda yang hidup serba cepat cenderung memilih makanan instan.
-
Persaingan kuliner modern. Hidangan Betawi lain yang lebih simpel seperti soto Betawi atau nasi uduk lebih mudah diterima generasi sekarang.
-
Perubahan gaya hidup. Tradisi memasak besar-besaran saat Lebaran mulai berkurang, tergantikan oleh makanan praktis atau pesan antar.
Namun, masih ada harapan. Beberapa komunitas budaya Betawi mencoba melestarikan resep ini. Di acara-acara festival kuliner, Ketupat Babanci kadang dihidangkan sebagai pengingat bahwa Jakarta punya harta kuliner yang luar biasa.
Upaya Pelestarian dan Peran Generasi Muda
Meski hampir punah, Ketupat Babanci belum benar-benar hilang. Beberapa rumah makan khas Betawi mulai berani menghadirkan menu ini kembali. Walaupun versi modernnya kadang lebih sederhana, esensinya tetap sama: kuah kaya rempah yang menyelimuti ketupat dan daging.
Komunitas budaya Betawi di Jakarta Barat, misalnya, rutin mengadakan workshop memasak Ketupat Babanci untuk anak muda. Mereka percaya, melestarikan kuliner ini sama pentingnya dengan menjaga tarian atau bahasa Betawi.
Generasi muda pun mulai melihatnya sebagai identitas. Ada mahasiswa kuliner di Jakarta yang menjadikan Ketupat Babanci sebagai bahan penelitian skripsi. Ia berusaha mendokumentasikan resep asli agar tidak hilang dimakan waktu.
Kalau dipikir-pikir, Ketupat Babanci bisa menjadi daya tarik wisata kuliner Jakarta. Bayangkan turis datang, bukan hanya mencicipi kerak telor di Monas, tapi juga Ketupat Babanci yang penuh sejarah.
Penutup – Ketupat Babanci Jakarta, Lebih dari Sekadar Hidangan
Ketupat Babanci Jakarta adalah contoh nyata betapa kuliner bisa menyimpan identitas budaya yang mendalam. Ia bukan hanya makanan, tapi juga cerita tentang keluarga, tradisi, dan kota yang terus berubah.
Mungkin, kita tidak bisa lagi menemui Ketupat Babanci di setiap meja Lebaran. Tapi lewat usaha pelestarian, edukasi, dan kreativitas generasi muda, hidangan ini masih bisa bertahan.
Karena pada akhirnya, menjaga kuliner tradisional bukan sekadar soal rasa, melainkan tentang menghargai warisan yang ditinggalkan leluhur kita. Dan Ketupat Babanci adalah salah satu bukti betapa kaya dan kompleksnya warisan kuliner Betawi.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Semur Jengkol Betawi: Aroma Menyengat Warisan Kuliner Jakarta