Jakarta, blessedbeyondwords.com – Siapa yang tak pernah mencicipi kue cucur? Jajanan tradisional berbentuk bulat dengan bagian tengah tebal dan pinggiran tipis ini selalu punya tempat di hati banyak orang. Rasanya manis legit dengan tekstur lembut di tengah dan renyah di sisi luar. Bagi generasi yang tumbuh di era 80-an dan 90-an, kue ini seakan jadi ikon di meja kudapan kala sore hari.
Ketika kecil, saya masih ingat jelas bagaimana ibu sering membeli cucur dari pedagang keliling yang lewat di depan rumah. Suaranya khas, memanggil dengan teriakan, “Cucur… cucur… hangat, manis!” Anak-anak berlarian keluar dengan uang receh di tangan, lalu kembali dengan wajah sumringah memegang kue hangat beraroma gula merah.
Makanan masa kecil ini bukan sekadar pengisi perut, melainkan simbol kebahagiaan sederhana. Di tengah keterbatasan pilihan jajanan kala itu, satu cucur sudah cukup membuat anak-anak puas. Tak heran bila hingga kini, kue cucur masih terus dicari, meski banyak jajanan modern bermunculan.
Bagi sebagian orang dewasa, menyantap kue cucur bukan hanya soal rasa, tapi juga cara untuk kembali “pulang” ke masa kecil. Setiap gigitan membawa kenangan akan tawa bersama teman, halaman rumah, hingga suasana kampung yang damai.
Sejarah dan Filosofi Kue Cucur dalam Budaya Nusantara
Meski sederhana, kue cucur memiliki jejak panjang dalam sejarah kuliner Nusantara. Banyak catatan budaya menyebutkan bahwa kue ini sudah ada sejak zaman kerajaan. Bentuknya yang bulat sering dimaknai sebagai simbol keutuhan dan kebersamaan. Tak jarang cucur disajikan dalam upacara adat atau acara keluarga besar.
Dalam tradisi Betawi, kue cucur hadir dalam hajatan, mulai dari pernikahan hingga sunatan. Filosofinya, cucur melambangkan rezeki yang mengalir lancar. Sedangkan di Bali, cucur menjadi bagian dari sesajen yang dipersembahkan pada upacara keagamaan.
Ada juga cerita menarik di kalangan masyarakat Jawa. Konon, kue cucur dipandang sebagai simbol kerendahan hati. Bagian tengahnya yang tebal melambangkan inti kehidupan, sementara pinggirannya yang tipis menunjukkan kesederhanaan. Filosofi inilah yang membuat cucur tetap lestari, meski tren kuliner terus berganti.
Media nasional beberapa kali menyoroti bagaimana jajanan tradisional seperti cucur kini mulai diangkat kembali ke ranah modern. Dari pasar tradisional hingga kafe kekinian, kue cucur muncul dengan tampilan lebih estetik, tapi tetap mempertahankan rasa autentiknya. Hal ini menunjukkan bahwa jajanan masa kecil tak pernah benar-benar hilang, hanya berganti wajah menyesuaikan zaman.
Rahasia Rasa: Bahan dan Teknik Membuat Kue Cucur
Kalau diperhatikan, bahan dasar kue cucur sangat sederhana: tepung beras, tepung terigu, gula merah, dan santan. Tapi justru kesederhanaan ini yang membuatnya begitu khas.
Proses pembuatannya membutuhkan keterampilan khusus. Adonan yang sudah diistirahatkan harus digoreng dengan teknik tertentu. Minyak panas dituangkan dalam wajan kecil, lalu adonan dituang sedikit demi sedikit di tengah. Secara perlahan, adonan akan menyebar, membentuk pinggiran tipis dengan bagian tengah yang menggelembung.
Suara desisan minyak bercampur aroma gula merah yang karamalisasi adalah momen paling menggoda. Pedagang yang berpengalaman bisa membuat cucur dengan bentuk sempurna, bundar, dan “mekar” di pinggirannya.
Tak jarang, ada anekdot lucu dari dapur rumah tangga. Seorang ibu pernah bercerita, dulu ketika anaknya merengek minta kue cucur, ia mencoba membuat sendiri. Namun hasilnya bantat, tak mengembang sama sekali. Alih-alih kecewa, anaknya justru tetap lahap memakan sambil berkata polos, “Yang penting ini buatan ibu.” Dari situlah ia sadar, cucur tak hanya soal rasa, tapi juga kasih sayang yang tersaji di setiap gigitan.
Variasi Kue Cucur di Nusantara
Seiring berjalannya waktu, kue cucur berkembang menjadi berbagai variasi. Di beberapa daerah, warnanya bukan hanya cokelat tua dari gula merah, tapi juga hijau pandan, merah muda, bahkan ungu dari ubi ungu. Inovasi ini muncul untuk menyesuaikan selera generasi muda.
-
Cucur Betawi: Identik dengan warna cokelat gelap dan rasa gula merah yang pekat.
-
Cucur Bali: Sering disajikan dalam upacara adat, warnanya lebih terang.
-
Cucur Modern: Ada yang diberi topping kelapa parut, wijen, hingga cokelat lumer.
Di media sosial, tren “cucur kekinian” sempat viral. Banyak kafe di Jakarta dan Bandung yang menyajikan cucur dengan plating cantik, ditemani secangkir kopi susu atau teh herbal. Tentu rasanya sama, tapi sentuhan modern membuatnya relevan bagi generasi sekarang.
Namun begitu, tetap saja kue cucur tradisional dari pedagang kaki lima punya tempat khusus. Ada sensasi berbeda saat membelinya di pinggir jalan, dibungkus kertas cokelat, lalu dimakan hangat-hangat di perjalanan.
Kue Cucur sebagai Simbol Makanan Masa Kecil
Mengapa kue cucur begitu lekat dengan istilah makanan masa kecil? Jawabannya ada pada kenangan kolektif masyarakat Indonesia. Hampir di setiap daerah, anak-anak pernah merasakan nikmatnya kue , baik saat jajan di sekolah, pasar, maupun hajatan keluarga.
Bagi generasi milenial dan Gen Z yang kini dewasa, kue cucur menghadirkan nostalgia. Ketika hidup mulai rumit dengan pekerjaan, tanggung jawab, dan tuntutan modernitas, menikmati cucur bisa jadi cara sederhana untuk kembali merasakan masa kecil yang polos.
Ada seorang teman yang bercerita, setiap kali ia pulang ke kampung halaman, ibunya selalu menyiapkan kue cucur. “Biar kamu ingat rumah,” katanya. Dan benar, meski sudah makan di restoran mahal di kota, tidak ada yang bisa menandingi rasa hangat cucur buatan ibu.
Hal ini menunjukkan bahwa kue cucur bukan sekadar jajanan. Ia adalah simbol keterhubungan antara generasi, pengikat kenangan, sekaligus representasi dari kekayaan kuliner Nusantara.
Relevansi Kue Cucur di Era Modern
Di tengah derasnya arus kuliner global, keberadaan kue cucur masih bertahan. Bahkan kini semakin dilirik oleh industri pariwisata. Banyak hotel di Bali dan Yogyakarta yang memasukkan cucur sebagai bagian dari menu welcome snack untuk tamu mancanegara.
Tak hanya itu, komunitas pecinta kuliner tradisional di beberapa kota besar juga rutin mengadakan festival jajanan pasar. cucur selalu jadi salah satu bintang utama. Media Indonesia pun beberapa kali menyoroti bagaimana generasi muda mulai kembali bangga dengan jajanan warisan nenek moyang ini.
Bagi dunia usaha, kue cucur bahkan berpotensi besar untuk dikembangkan. Dengan inovasi rasa, kemasan menarik, dan branding yang tepat, cucur bisa bersaing dengan dessert modern. Apalagi tren sekarang cenderung mengangkat kembali makanan lokal sebagai identitas kebanggaan.
Penutup: Kue Cucur, Rasa yang Tak Pernah Hilang
Kue cucur adalah bukti bahwa makanan masa kecil bisa bertahan melewati zaman. Sederhana, manis, dan penuh filosofi. Ia bukan hanya pengisi perut, tapi juga pengikat kenangan, perekat keluarga, dan simbol budaya yang kaya makna.
Setiap gigitan cucur membawa kita kembali ke halaman rumah, suara pedagang keliling, dan tawa masa kecil yang polos. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, cucur tetap jadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati sering kali hadir dalam bentuk paling sederhana.
Dan mungkin, itulah alasan kenapa kue cucur layak disebut makanan masa kecil yang tak tergantikan. Ia bukan sekadar kue, tapi potongan kecil dari sejarah hidup kita.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Mie Tek Tek: Cita Rasa Jalanan yang Tak Pernah Lekang Waktu