JAKARTA, blessedbeyondwords.com – Tidak ada yang bisa menyangkal kalau Bandung selalu punya cara untuk menciptakan jajanan yang menggugah rasa penasaran. Salah satunya adalah cireng isi, camilan sederhana yang kini menjadi ikon kuliner Jawa Barat. Namanya sendiri berasal dari singkatan dua kata: aci digoreng, yang artinya tepung kanji yang digoreng. Tapi siapa sangka, di balik kesederhanaan namanya, cireng punya sejarah panjang yang membentuk identitas jajanan kaki lima khas Sunda.
Awalnya, cireng dibuat oleh para pedagang kecil di kawasan Pasar Baru Bandung pada era 1980-an. Waktu itu, ide membuat cireng muncul dari kebutuhan untuk mengolah bahan murah meriah, yaitu tepung kanji, menjadi makanan yang bisa dijual dengan harga terjangkau. Hasilnya? Sebuah camilan renyah di luar dan kenyal di dalam yang ternyata disukai semua kalangan, dari anak sekolah sampai pekerja kantoran.
Seiring waktu, inovasi pun muncul. Cireng yang dulu hanya disajikan polos dengan sambal kacang kini hadir dengan berbagai isian menggoda—mulai dari ayam suwir, sosis, abon sapi, hingga keju mozzarella. Perubahan ini tidak hanya membuat rasanya lebih kaya, tapi juga menandai evolusi kuliner tradisional yang mampu menyesuaikan diri dengan selera modern.
Banyak orang mungkin punya kenangan tersendiri dengan camilan ini. Saya sendiri ingat betul ketika pertama kali mencoba cireng isi di pinggir jalan dekat kampus. Penjualnya, seorang bapak paruh baya dengan gerobak kecil, selalu menyiapkan adonan hangat setiap sore. Saat cirengnya digoreng, aroma gurihnya langsung memenuhi udara, membuat siapa pun yang lewat sulit menolak.
Tekstur dan Rasa: Antara Kenyal, Gurih, dan Krispi yang Menggoda

Keunikan cireng isi bukan hanya terletak pada bahannya, tetapi pada tekstur khas yang sulit ditemukan di camilan lain. Saat digigit, lapisan luarnya terasa renyah, sementara bagian dalamnya kenyal dan lembut. Kombinasi ini menciptakan sensasi yang membuat siapa pun ingin menggigit lagi dan lagi.
Biasanya, adonan dasar cireng dibuat dari campuran tepung kanji, tepung terigu, bawang putih halus, daun bawang, garam, dan air panas. Rahasia kerenyahannya sering kali terletak pada cara menggoreng. Minyak yang terlalu panas bisa membuat bagian luar gosong sementara dalamnya masih mentah. Sebaliknya, jika terlalu dingin, cireng akan menyerap minyak berlebih dan terasa lembek.
Namun, daya tarik utama cireng modern adalah isiannya. Cireng isi ayam suwir pedas, misalnya, memberi kejutan rasa di setiap gigitan—gurih, pedas, dan sedikit manis dari bumbu kecap. Ada juga versi cireng isi keju yang populer di kalangan anak muda. Saat keju meleleh dari dalam adonan kenyal, rasanya seperti pertemuan antara jajanan tradisional dan kuliner kekinian.
Selain itu, beberapa penjual bahkan mulai menambahkan sambal rujak sebagai pelengkap. Kombinasi rasa asin, manis, dan pedas dari sambal rujak berpadu sempurna dengan cireng yang gurih, menciptakan harmoni rasa yang menggugah selera. Itulah mengapa cireng tidak pernah kehilangan penggemar—karena fleksibilitas rasanya yang bisa disesuaikan dengan selera siapa pun.
Cireng Isi sebagai Simbol Kreativitas Kuliner Indonesia
Dalam dunia kuliner, inovasi sering kali lahir dari keterbatasan. Cireng adalah salah satu contohnya. Dari bahan sederhana seperti aci (tepung kanji), masyarakat mampu menciptakan makanan yang bukan hanya enak tapi juga punya nilai budaya.
Kini, cireng isi bukan lagi sekadar jajanan pinggir jalan. Banyak kafe modern di Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya yang memasukkan cireng ke dalam menu mereka. Bedanya, kini cireng disajikan dengan sentuhan estetika modern: plating cantik, saus homemade, dan isian premium seperti tuna mayo atau smoked beef. Tapi meski tampilannya berubah, jiwanya tetap sama—cireng adalah simbol kehangatan dan kreativitas lokal.
Dalam sebuah wawancara fiktif dengan seorang chef muda Bandung, ia mengatakan bahwa cireng adalah “contoh terbaik dari comfort food Indonesia.” Menurutnya, setiap orang punya kenangan berbeda dengan cireng. Ada yang mengingatnya sebagai camilan di depan sekolah, ada juga yang mengenalnya dari warung kopi tempat nongkrong sore hari.
Camilan ini juga menjadi bukti betapa dinamisnya dunia kuliner Indonesia. Dari bentuk yang sederhana, cireng bisa berkembang menjadi berbagai variasi unik seperti cireng salju (dengan tekstur lebih empuk), cireng isi mozarella, hingga cireng bumbu rujak dengan cita rasa pedas manis khas Sunda. Semua ini menunjukkan bahwa kuliner tradisional bisa tetap relevan jika diberi ruang untuk berinovasi.
Membuat Cireng Isi di Rumah: Lebih Mudah dari yang Dibayangkan
Meski mudah ditemukan di mana-mana, membuat cireng isi di rumah punya sensasi tersendiri. Selain bisa menyesuaikan rasa sesuai selera, kamu juga bisa bereksperimen dengan berbagai isian.
Langkah pertama tentu menyiapkan bahan utama: tepung kanji, tepung terigu, bawang putih halus, daun bawang cincang, garam, dan air panas. Campurkan bahan-bahan kering, lalu tuangkan air panas sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga adonan kalis. Setelah itu, bentuk adonan menjadi bulatan kecil dan pipihkan.
Untuk isiannya, kamu bisa memilih apa saja—mulai dari ayam suwir bumbu balado, sosis keju, hingga abon sapi pedas. Letakkan isian di tengah, lalu tutup rapat sebelum digoreng hingga keemasan. Gunakan minyak banyak dan api sedang agar hasilnya renyah di luar tapi tetap lembut di dalam.
Beberapa orang juga menambahkan tepung tapioka tambahan agar teksturnya lebih kenyal. Sementara itu, untuk sensasi berbeda, kamu bisa mencampurkan sedikit susu cair ke dalam adonan agar cireng terasa lebih lembut.
Tips kecil dari saya: setelah menggoreng, tiriskan cireng di atas kertas minyak agar tidak terlalu berminyak. Sajikan hangat dengan sambal rujak atau saus pedas favoritmu. Dijamin, aroma dan rasanya akan langsung membawa kamu ke suasana Bandung yang penuh nostalgia.
Budaya Populer dan Industri Kuliner
Menariknya, cireng isi kini bukan hanya camilan lokal. Berkat media sosial, makanan ini mulai dikenal lebih luas bahkan hingga ke luar negeri. Banyak konten kreator kuliner yang mengulas cireng sebagai contoh camilan jalanan paling kreatif di Indonesia.
Di Bandung sendiri, muncul banyak brand cireng modern yang dikemas dalam bentuk beku (frozen food). Strategi ini membuat cireng semakin mudah diakses oleh masyarakat di luar Jawa Barat. Kamu tinggal goreng di rumah, dan dalam beberapa menit bisa menikmati rasa autentik Bandung tanpa harus keluar rumah.
Beberapa penjual juga menambahkan sentuhan branding yang unik, seperti bentuk cireng hati, bintang, atau mini cireng bite-size yang cocok dijadikan camilan saat menonton film. Ini membuktikan bahwa kuliner tradisional bisa bersaing di era modern asalkan dikemas dengan cara yang kreatif.
Cireng isi juga punya peran sosial tersendiri. Banyak pelaku UMKM yang menjadikan bisnis cireng sebagai ladang penghasilan utama. Dengan modal kecil dan bahan mudah didapat, mereka mampu membangun usaha rumahan yang sukses. Ini adalah contoh nyata bagaimana jajanan sederhana bisa menjadi penggerak ekonomi lokal.
Camilan yang Menyatukan Tradisi dan Tren
Pada akhirnya, cireng isi bukan sekadar makanan ringan. Ia adalah representasi dari kreativitas, adaptasi, dan kenangan masa kecil yang melekat kuat di hati banyak orang. Dari warung pinggir jalan hingga restoran modern, dari isi sederhana hingga varian premium, cireng tetap mempertahankan pesonanya.
Di tengah derasnya tren kuliner baru yang datang dan pergi, cireng isi tetap bertahan—karena ia punya rasa yang akrab, tekstur yang khas, dan cerita yang tak lekang waktu.
Jika suatu hari kamu berjalan di Bandung dan mencium aroma gorengan hangat yang gurih, kemungkinan besar itu aroma cireng isi yang siap memanjakan lidah dan membangkitkan nostalgia. Dan mungkin, di saat itu juga, kamu akan tersenyum sambil berkata dalam hati, “Kadang, kenangan paling lezat datang dari makanan paling sederhana.”
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Papeda Kuah Kuning: Simbol Kehangatan dari Timur Indonesia yang Penuh Rasa dan Makna
