JAKARTA, blessedbeyondwords.com – Ada satu cerita yang hampir selalu saya dengar dari para jurnalis kuliner senior setiap kali membahas Yogyakarta. Mereka bilang, “Tak ada yang lebih mengejutkan daripada pertama kali mencoba gudeg mercon. Bibirmu panas, tapi hatimu hangat.” Saya sempat tertawa mendengarnya, namun begitu mencobanya sendiri, kalimat itu berubah dari lelucon menjadi sebuah kebenaran yang tak bisa dibantah.
Gudeg, seperti yang kita tahu, terkenal sebagai makanan manis khas Yogyakarta. Namun puluhan tahun lalu, para peracik kuliner di kampung-kampung pinggiran kota mencoba menambahkan sebuah ‘bantingan rasa’. Mereka memasukkan cabai rawit dalam jumlah tidak wajar ke dalam olahan gudeg basah yang gurih. Hasilnya adalah hidangan yang tidak hanya kaya bumbu, tapi juga menghadirkan sensasi panas seperti percikan mercon. Dari situ nama “gudeg mercon” lahir.
Para pedagang legendaris yang menyajikannya sering bercerita bahwa kebutuhan akan makanan pedas ini datang dari para pekerja malam yang membutuhkan hidangan eksplosif untuk mengusir kantuk dan lelah. Sejak itu, gudeg mercon tak hanya jadi makanan, tetapi jadi kisah populernya sendiri.
Dalam liputan yang pernah saya lakukan, saya sempat menghabiskan waktu berjam-jam di dapur pedagang gudeg mercon. Di sana, saya menyaksikan langsung bagaimana aroma cabai segar dan kaldu gurih berpadu di atas panci besar. Dan jujur saja, baru menghirup aromanya pun sudah bikin mata terasa panas. Namun justru dari proses panjang itulah keajaiban rasa muncul.
Sejarah Gudeg Mercon yang Tak Banyak Dibicarakan

Ketika membahas kuliner tradisi, sesuatu yang sering terlupa adalah bahwa makanan tidak sekadar resep. Makanan adalah respons terhadap situasi sosial dan kebutuhan hidup masyarakat. Gudeg mercon pun demikian.
Dalam obrolan saya dengan beberapa penjual lama di Yogyakarta, ada satu pola menarik: gudeg mercon muncul sebagai “alternatif” dari gudeg manis khas Yogyakarta yang bagi sebagian orang dirasa terlalu lembut. Kaum muda, pendatang, hingga mahasiswa dari daerah Sumatera dan Sulawesi—yang memang terkenal dengan budaya pedas—menginginkan sesuatu yang lebih menggigit. Dari sinilah sebuah eksperimen muncul.
Seorang pedagang bercerita, dulu ia sering melihat mahasiswa kos memotong cabai rawit lalu mencampurnya begitu saja ke dalam gudeg. “Kalau begitu mah sekalian saja bikin versi pedasnya,” katanya sembari tertawa ketika saya wawancarai.
Prosesnya pun berkembang. Awalnya hanya menambahkan cabai rawit utuh. Lalu berkembang ke cabai halus. Lalu berkembang lagi ke tumisan sambal yang dimasukkan dalam jumlah besar. Setiap pedagang memiliki rahasianya sendiri: ada yang mencampur cabai setelah gudeg matang, ada yang memasaknya bersamaan, ada pula yang membuat sambal khusus yang dimasukkan sedikit-sedikit hingga rasa ‘meledak’ muncul tepat pada waktunya.
Inilah salah satu hal yang membuat gudeg mercon begitu menarik: tidak ada dua pedagang yang benar-benar sama. Setiap versi membawa identitas rasa, pengalaman dapur, dan sejarah keluarganya masing-masing.
Proses Memasak Gudeg Mercon yang Penuh Kesabaran
Jika saya harus memilih satu kata yang menggambarkan proses memasak gudeg mercon, maka kata itu adalah “ketelatenan.” Banyak orang berpikir bahwa memasak gudeg mercon hanyalah soal menambah cabai sebanyak-banyaknya. Padahal tidak sesederhana itu.
Dalam salah satu liputan, saya menemani seorang ibu penjual gudeg mercon yang sudah memasak lebih dari dua dekade. Ia mulai sejak sore. Nangka muda dipotong kecil—bahkan sedikit lebih kecil dibanding gudeg biasa. Setelah itu ia memasukkan bumbu lengkap: bawang merah, bawang putih, lengkuas, daun salam, serai, dan tentu saja gula jawa yang memberi rasa manis khas gudeg.
Namun di sinilah perbedaannya: ketika gudeg biasa dimasak dengan aroma manis yang lembut, gudeg mercon memanggil aroma pedas dari wajan sambal. Sang ibu menumis cabai rawit merah dalam jumlah tidak masuk akal. Bukan hanya segenggam, tapi semangkuk penuh. Bahkan saya sampai bertanya, “Bu, itu semua dipakai?” Ia mengangguk sambil tersenyum tipis, “Kalau kurang pedas nanti pada protes.”
Sambal itu kemudian dimasukkan ke dalam panci gudeg. Proses pemasakan yang berlangsung berjam-jam membuat pedasnya meresap pelan-pelan, bukan sekadar menusuk lidah saat gigitan pertama. Teknik inilah yang menghasilkan pedas yang ‘dalam’, bukan hanya panas.
Ketika hampir matang, aroma yang keluar sungguh unik: manis dari gula jawa, gurih dari kaldu ayam dan santan, serta pedas menyengat dari cabai berpadu menjadi satu. Saat membuka tutup panci, benar-benar seperti ledakan aroma yang membuat siapa pun mundur setengah langkah.
Sensasi Rasa: Manis, Gurih, dan Pedas yang Meledak Bersama
Saya masih ingat, saat liputan pertama mencoba gudeg mercon, saya duduk di bangku kayu kecil di depan warung. Pedagang memberikan piring berisi nasi hangat, gudeg basah, krecek, ayam kampung, dan sambal mercon tambahan. Warung itu ramai, namun suasananya terasa akrab.
Gigitan pertama membuat saya terdiam. Bukan karena terlalu pedas, tetapi karena perpaduan rasanya luar biasa kompleks. Manisnya gudeg muncul lebih dulu, lalu gurih dari krecek dan kuah santan. Namun beberapa detik kemudian, pedasnya mulai merayap dari bibir ke tenggorokan. Bukan pedas yang mematikan, tetapi pedas yang seperti mengajak adrenalin menari. Sementara itu rasa gurihnya tetap terasa di belakang.
Inilah alasan gudeg mercon tetap digemari hingga sekarang. Ia tidak menghilangkan identitas gudeg asli. Ia hanya memberikan kejutan yang membuat siapa pun ingin kembali lagi.
Dalam banyak kunjungan saya ke warung-warung gudeg mercon, saya sering bertemu pelanggan yang bercerita bahwa sensasi pedasnya membuat mereka ketagihan. Ada yang bilang, “Pedasnya memang gila, tapi rasanya bikin nggak bisa berhenti makan.” Ada juga yang datang rutin seminggu dua kali hanya untuk mengobati rindu.
Beberapa pedagang juga menyebutkan bahwa rahasia dari gudeg mercon yang enak bukanlah sekadar banyak cabai, tetapi keseimbangan rasa. Pedas, manis, dan gurih harus berjalan bersama, tidak saling menjatuhkan.
Popularitas yang Terus Meledak di Dunia Kuliner
Makin ke sini, gudeg mercon bukan lagi sekadar ikon kuliner Yogyakarta. Ia kini jadi fenomena nasional. Banyak food vlogger, kreator konten, hingga para wisatawan luar daerah yang menjadikannya sebagai “ritual wajib” ketika datang ke Yogyakarta.
Saya pernah berbincang dengan seorang pemilik warung yang mengatakan bahwa pelanggan dari luar kota justru lebih banyak dibanding dari warga lokal. Mereka datang dengan niat khusus: ingin merasakan pedasnya gudeg yang meledak seperti mercon. Bahkan ada yang rela antre hingga larut malam.
Fenomena ini membuat banyak pedagang memperluas inovasi. Ada yang menambahkan topping kikil super pedas, ada yang membuat versi ekstra mercon hingga tiga kali lipat cabai dari versi standar, ada juga yang membuat kombinasi unik seperti gudeg mercon dengan telur asap atau kulit ayam goreng garing. Kreativitas itu membuat kuliner ini tidak pernah stagnan.
Media nasional pun beberapa kali menyoroti perkembangan gudeg mercon. Bahkan di dunia jasa pengiriman makanan, gudeg mercon sering masuk daftar paling dicari saat malam hari. Ini bukan hanya soal rasa. Ini soal identitas dan pengalaman makan yang jarang didapat dari kuliner lain.
Ledakan Rasa yang Tak Pernah Padam
Ketika saya melihat kembali catatan liputan dan pengalaman mencicipi berbagai versi gudeg mercon, satu hal selalu muncul: makanan ini bukan hanya pedas, tetapi penuh cerita. Dari dapur-dapur kecil yang bekerja hingga dini hari, dari tangan-tangan yang menakar cabai tanpa ragu, hingga pelanggan yang rela antre hanya untuk menikmati satu piring panas—semuanya menyusun kisah gudeg mercon yang begitu hidup.
Gudeg mercon adalah bukti bahwa tradisi bisa berkembang tanpa kehilangan jati diri. Ia tetap manis seperti gudeg asli, namun memberikan kejutan yang membuatnya dikenang banyak orang. Setiap sendok membawa perpaduan rasa yang kompleks dan memuaskan.
Jika suatu hari kamu berkunjung ke Yogyakarta, luangkan waktu untuk mencarinya. Duduklah di warung sederhana, pesan satu piring gudeg mercon, dan biarkan sensasi pedasnya meledak pelan-pelan di lidahmu. Seperti kata seorang pedagang tua yang pernah saya temui, “Gudeg itu seperti hidup. Kadang manis, kadang pedas, tapi kalau dinikmati, semuanya terasa pas.”
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Sup Jagung: Hangatnya Kenangan, Nikmatnya Sajian Rumahan yang Selalu Dirindukan
