Jakarta, blessedbeyondwords.com – Beberapa waktu lalu, saya mampir ke sebuah festival kuliner di Jakarta Selatan. Di tengah deretan booth makanan kekinian, mata saya tertumbuk pada satu gerobak kecil dengan tulisan besar: Es Goyang Legendaris. Tanpa pikir panjang, saya antre, memesan, dan dalam satu gigitan—boom—kenangan masa kecil menyeruak seketika.
Es goyang bukan sekadar es krim. Ia adalah simbol dari masa ketika hidup begitu sederhana. Jajanan ini disebut “goyang” karena proses pembuatannya yang unik: adonan cair dituangkan ke dalam cetakan, lalu digoyang-goyang di dalam wadah es batu dan garam sampai membeku. Goyangan itulah yang membuat teksturnya khas—padat, dingin, tapi tetap lembut di mulut.
Dulu, es goyang banyak dijajakan oleh abang-abang dengan gerobak kecil. Biasanya mereka keliling di area sekolah atau perumahan. Suara lonceng khas mereka jadi alarm yang ditunggu-tunggu anak-anak. Satu tusuk es goyang dibanderol seribu rupiah, lengkap dengan lapisan cokelat yang meleleh dan taburan meses warna-warni.
Banyak dari kita mungkin mengira es goyang telah punah, digantikan oleh gelato, soft-serve Korea, atau minuman boba. Tapi ternyata, es ini justru sedang comeback, dengan bentuk dan cita rasa yang lebih modern, tanpa kehilangan esensi klasiknya.
Sejarah Es Goyang—Dari Pinggir Jalan ke Jejak Kuliner Tradisional
Tak banyak yang tahu bahwa es goyang merupakan bagian dari sejarah kuliner kaki lima Indonesia sejak era 70-an, terutama di daerah Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lain di Jawa. Dulu, sebelum freezer rumahan jadi hal umum, orang memanfaatkan teknik sederhana menggunakan garam dan es batu untuk membuat es yang membeku cepat.
Abang-abang es goyang biasanya punya cetakan berbentuk silinder kecil dari aluminium. Adonan utamanya sederhana—campuran santan, gula, dan perisa (vanila, stroberi, cokelat). Setelah dituangkan ke dalam cetakan dan dimasukkan ke dalam tabung berisi es batu dan garam, mereka menggoyang-goyangkan cetakan itu selama 5–10 menit hingga es mengeras.
Kenapa digoyang? Karena goyangan itu membantu meratakan pembekuan, dan juga mencegah kristal es terlalu besar terbentuk, sehingga hasil akhirnya lembut. Teknik ini sangat mirip dengan cara membuat es krim tradisional di banyak budaya lain, namun dengan sentuhan khas Indonesia.
Pada masa jayanya, es goyang sangat populer di kalangan anak-anak sekolah. Bahkan ada istilah, “kalau belum makan es, berarti belum pulang sekolah.” Selain murah, jajanan ini juga punya daya tarik visual. Warna-warni meses dan siraman cokelat cair bikin anak-anak ketagihan.
Sayangnya, di era 2000-an, esgoyang mulai hilang dari peredaran. Munculnya es krim pabrikan dan tren minuman modern membuat para penjualnya kehilangan pelanggan. Tapi, seperti tren fashion, kuliner juga punya siklus. Kini, es goyang bangkit kembali, dibalut dengan tampilan baru dan strategi branding yang lebih cerdas.
Inovasi Rasa dan Tampilan Es Goyang Zaman Now
Generasi milenial dan Gen Z terkenal doyan nostalgia, tapi tetap ingin sesuatu yang Instagramable. Ini jadi ladang subur bagi kebangkitan esgoyang. Beberapa brand lokal mulai mengangkat kembali es ini—tapi tentu dengan gaya kekinian.
Di Bandung, misalnya, ada sebuah kafe kecil bernama “Goyangin Aja” yang menghidupkan es goyang dalam bentuk es stik artisan. Mereka membuat varian rasa baru: matcha, kopi susu, cookies & cream, bahkan red velvet. Cetakan silindris diganti bentuk hati atau hewan lucu, tapi proses goyang tetap dipertahankan demi mempertahankan orisinalitas.
Selain rasa, topping juga dimodifikasi. Kalau dulu hanya meses dan cokelat, sekarang ada taburan sereal, saus karamel, selai stroberi, bahkan edible gold flakes untuk paket premium. Tentu harganya sudah tidak seribu rupiah—namun masih jauh lebih terjangkau dibanding gelato impor.
Salah satu inovasi menarik datang dari gerai keliling bernama “Es Goyang Bang Tigor” di Depok. Mereka tetap menggunakan gerobak klasik, tapi dengan cat warna pastel dan pegawai muda berseragam khas. Rasa yang ditawarkan masih klasik, tapi dibuat dengan bahan organik dan tanpa pengawet. Bahkan tersedia opsi vegan-friendly.
Fenomena ini menunjukkan bahwa es goyang tak hanya bertahan, tapi bertransformasi menjadi simbol warisan kuliner yang fleksibel. Anak-anak muda tak lagi merasa malu membeli es dari gerobak. Justru merasa bangga karena mendukung produk lokal yang bersejarah.
Nilai Gizi dan Isu Kesehatan dalam Konsumsi Jajanan Tradisional
Bicara soal es krim, tentu tidak lepas dari pertanyaan: Sehat nggak, sih? Nah, ini juga berlaku buat es goyang.
Secara umum, es goyang tradisional mengandung bahan sederhana: santan, gula, air, dan sedikit perisa alami. Ini jauh lebih natural dibanding es krim pabrikan yang kadang mengandung pengawet, pewarna buatan, dan penguat rasa.
Tapi tetap perlu diperhatikan: jumlah gula dalam es goyang cukup tinggi. Satu stik bisa mengandung hingga 10–15 gram gula. Kalau kamu mengonsumsi beberapa stik sekaligus, bisa saja melebihi batas harian konsumsi gula yang disarankan WHO, yaitu sekitar 25 gram.
Namun ada kabar baik. Banyak produsen esgoyang modern kini mulai menyadari pentingnya komposisi gizi. Beberapa menggunakan pemanis alami seperti madu atau gula kelapa, bahkan menambahkan susu almond atau greek yogurt sebagai bahan dasar agar lebih kaya protein.
Untuk anak-anak, es goyang bisa jadi alternatif yang lebih baik daripada permen atau minuman soda. Asal tetap dalam batas wajar dan dipastikan higienis, es goyang bisa menjadi cemilan segar tanpa rasa bersalah.
Dan tentu, bagi sebagian besar dari kita, nilai gizi esgoyang bukan sekadar angka kalori. Tapi nilai emosional, nilai budaya, dan nilai nostalgia yang menyertainya.
Masa Depan Es Goyang—Antara Pelestarian dan Komersialisasi
Pertanyaan yang cukup menarik: Apa masa depan es goyang di tengah tren kuliner modern yang terus berubah?
Melihat dari geliat bisnis kuliner lokal dan meningkatnya minat terhadap makanan tradisional, es goyang punya peluang cerah jika dikemas dengan baik. Kunci utamanya ada pada tiga hal: inovasi, branding, dan edukasi.
Pertama, inovasi rasa dan kemasan perlu terus dikembangkan. Konsumen zaman sekarang ingin lebih dari sekadar rasa enak. Mereka ingin pengalaman. Mungkin bisa ditambahkan storytelling visual di kemasan, atau QR code yang mengarah ke video sejarah es goyang.
Kedua, branding yang kuat dan konsisten. Esgoyang tidak bisa bersaing head-to-head dengan es krim brand global dari segi modal. Tapi ia bisa unggul dari sisi cerita lokal dan daya tarik nostalgia. Gerobak bisa diubah jadi pop-up booth di mal atau festival kuliner. Bahkan kolaborasi dengan brand fashion lokal juga memungkinkan.
Ketiga, edukasi kepada generasi muda dan pelaku UMKM. Pemerintah daerah bisa memasukkan esgoyang sebagai bagian dari pelatihan wirausaha kuliner. Dengan begitu, lebih banyak orang muda bisa menjadikannya bisnis kecil yang berkelanjutan.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, es goyang akan masuk daftar warisan budaya tak benda nasional, berdiri sejajar dengan sate, rendang, dan gudeg.
Penutup: Es Goyang—Lebih dari Sekadar Jajanan, Ini Cerita Kita Semua
Es goyang bukan hanya tentang es dalam stik. Ia adalah simbol masa kecil yang bahagia, kehangatan abang gerobak, dan semangat inovasi yang tak pernah padam. Di tengah derasnya tren makanan global, es goyang berdiri sebagai pengingat bahwa rasa lokal tak pernah ketinggalan zaman.
Untuk kamu yang sudah lama tidak mencicipinya, mungkin sudah waktunya cari gerobak atau kafe yang menyajikannya. Dan untuk kamu yang belum pernah coba? Percayalah, satu stik es goyang bisa membuatmu tersenyum seperti anak kecil lagi.
Karena pada akhirnya, kuliner bukan cuma soal rasa di lidah—tapi rasa di hati.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Soto Mie Bogor dan Kekayaan Rasa dari Jawa Barat!