Jakarta, blessedbeyondwords.com – Memang dikenal sebagai kota modern dengan deretan gedung pencakar langit, tapi di balik hiruk-pikuknya, ada warisan kuliner yang nyaris terlupakan: Gabus Pucung Betawi. Hidangan ini tak sekadar menu makan siang, melainkan potret sejarah dan identitas warga Betawi.
Bagi yang belum pernah mencicipinya, bayangkan semangkuk kuah hitam pekat, hasil dari olahan pucung (kluwek), dengan potongan ikan gabus yang digoreng hingga garing lalu dimasak dalam kuah bumbu. Aroma rempahnya harum, rasanya gurih bercampur sedikit pahit khas kluwek, lalu ditutup dengan tekstur lembut daging gabus.
Ada kisah dari seorang pedagang tua di kawasan Depok yang sudah puluhan tahun berjualan gabus pucung. Ia berkata, “Sekarang anak muda lebih kenal spaghetti daripada gabus pucung. Padahal, inilah makanan asli kampung kita.” Ungkapan itu seperti alarm kecil, mengingatkan kita bahwa kuliner tradisional bisa hilang jika tidak dijaga.
Makan gabus pucung bukan hanya soal kenyang, tapi juga perjalanan rasa yang membawa kita seakan kembali ke Jakarta tempo doeloe, ketika rumah panggung masih berjajar di tepi rawa, dan ikan gabus mudah ditangkap di sungai atau sawah.
Sejarah Gabus Pucung dan Filosofi di Baliknya
Asal usul Gabus Pucung Betawi erat kaitannya dengan lingkungan masyarakat Betawi yang dulu banyak tinggal di sekitar rawa dan sungai. Ikan gabus, atau dalam bahasa Betawi disebut “ikan kutuk”, menjadi sumber protein yang murah, mudah ditangkap, dan kaya gizi.
Sementara pucung (kluwek) digunakan sebagai bahan utama untuk memberikan warna hitam sekaligus rasa unik. Bahan ini juga dipakai di masakan Jawa Tengah seperti rawon, tapi di Betawi dipadukan dengan ikan gabus, menghasilkan rasa berbeda yang lebih ringan dan khas.
Dalam tradisi Betawi, gabus pucung sering hadir pada acara hajatan atau kenduri. Filosofinya sederhana: ikan gabus melambangkan kekuatan dan ketangguhan, sementara kluwek memberi rasa kompleks, seolah hidup ini selalu punya pahit dan manis yang berjalan bersama.
Menariknya, pada masa kolonial, hidangan ini dianggap “makanan rakyat”. Orang Belanda jarang menyentuhnya karena tampilan kuah hitam dianggap tidak menarik. Namun justru dari sinilah gabus pucung mendapat julukan kuliner otentik Betawi, yang tetap lestari di kalangan masyarakat lokal meski tidak populer di meja bangsawan.
Resep Tradisional Gabus Pucung
Memasak Gabus Pucung Betawi bukan perkara instan. Ada proses panjang yang mencerminkan kesabaran khas dapur tradisional.
Bahan utamanya:
-
Ikan gabus segar (digoreng lebih dulu agar tidak hancur saat dimasak).
-
Pucung atau kluwek (dipilih yang tua dan hitam pekat).
-
Bumbu halus: bawang merah, bawang putih, kemiri, kunyit, jahe, dan cabai.
-
Daun salam, lengkuas, serta serai untuk aroma.
-
Asam jawa untuk sedikit rasa segar.
Cara memasaknya biasanya dimulai dengan menumis bumbu halus hingga harum, lalu ditambahkan kluwek yang sudah dihaluskan. Setelah itu, air dituang hingga mendidih, barulah ikan gabus yang sudah digoreng dimasukkan. Kuahnya pekat, warnanya hitam legam, dengan rasa gurih bercampur sedikit pahit yang justru jadi ciri khas.
Di beberapa wilayah, ada variasi dengan menambahkan daun kemangi untuk aroma segar atau cabai rawit utuh untuk sensasi pedas. Namun inti rasanya tetap sama: kuah hitam gurih yang menyelimuti lembutnya daging ikan gabus.
Seorang ibu rumah tangga di Condet pernah bilang, “Kalau bikin gabus pucung, harus sabar. Jangan buru-buru. Kalau dimasak pelan, rasanya keluar semua.” Kalimat sederhana itu menegaskan bahwa kuliner tradisional memang tentang waktu dan ketekunan.
Gabus Pucung di Tengah Gempuran Modernitas
Sayangnya, popularitas Gabus Pucung Betawi kian menurun. Banyak warung Betawi kini lebih memilih menjual menu lain seperti soto Betawi, nasi uduk, atau kerak telor yang lebih dikenal wisatawan.
Ada beberapa alasan kenapa gabus pucung mulai jarang ditemui:
-
Ikan gabus semakin sulit didapat. Habitat rawa dan sungai di Jakarta banyak yang hilang akibat pembangunan.
-
Bahan pucung (kluwek) tidak semua orang familiar. Ada yang menganggap rasanya aneh, terutama generasi muda.
-
Proses masak lama. Di era serba cepat, orang lebih suka makanan instan.
Namun di balik tantangan itu, masih ada segelintir restoran dan warung yang bertahan menyajikan gabus pucung. Beberapa di antaranya bahkan mencoba berinovasi, seperti membuat gabus pucung instan dalam kemasan beku.
Di kawasan Jagakarsa, ada warung kecil yang jadi rujukan pecinta kuliner Betawi. Pemiliknya, generasi kedua dari keluarga Betawi asli, bilang, “Kalau nggak ada yang jual lagi, siapa yang mau ngenalin makanan ini ke anak cucu?” Kalimat itu sekaligus tamparan bagi kita yang sering lupa melestarikan kuliner sendiri.
Manfaat Gizi dan Nilai Budaya Gabus Pucung
Selain kaya rasa, gabus pucung juga menyimpan manfaat kesehatan. Ikan gabus terkenal dengan kandungan albumin tinggi, yang baik untuk pemulihan pasca operasi atau luka. Banyak ahli gizi menyarankan konsumsi ikan gabus untuk mempercepat penyembuhan tubuh.
Sementara kluwek mengandung lemak sehat dan antioksidan. Meski rasanya unik, bahan ini memiliki nilai gizi yang baik jika diolah dengan tepat. Perpaduan keduanya menjadikan gabus pucung sebagai hidangan sehat yang tidak hanya memanjakan lidah, tapi juga bermanfaat bagi tubuh.
Dari sisi budaya, gabus pucung adalah bukti bagaimana masyarakat Betawi beradaptasi dengan alam sekitarnya. Mereka memanfaatkan bahan lokal yang ada—ikan dari rawa, kluwek dari pohon sekitar—dan mengubahnya menjadi makanan khas. Kuliner ini bukan hanya soal rasa, tapi juga narasi tentang hubungan manusia dengan lingkungan.
Jika dilihat lebih jauh, gabus pucung juga menjadi simbol keberagaman kuliner Indonesia. Sama seperti rawon di Jawa Timur atau papeda di Maluku, setiap daerah punya cara khas mengolah bahan alam jadi warisan budaya.
Penutup, Menjaga Warisan yang Hampir Hilang
Akhirnya, Gabus Pucung Betawi adalah lebih dari sekadar kuliner. Ia adalah cerita tentang masyarakat, sejarah, dan identitas. Rasa gurih kuah kluwek berpadu dengan lembutnya ikan gabus bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menghadirkan nostalgia akan Jakarta lama yang semakin sulit ditemukan.
Bagi warga Betawi, gabus pucung adalah simbol rumah. Bagi penikmat kuliner, ia adalah pengalaman unik yang jarang ada. Dan bagi Indonesia, ia adalah pengingat bahwa warisan kuliner lokal harus dijaga agar tidak punah.
Seorang penikmat kuliner pernah berkata usai menyantap gabus pucung, “Makan ini rasanya seperti ngobrol dengan kakek-nenek kita. Ada cerita lama yang tiba-tiba hidup lagi.” Kalimat itu sederhana, tapi pas untuk menggambarkan makna gabus pucung bagi budaya Betawi.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Nasi Bebek: Lezatnya Tradisi yang Menggoda Selera