Sekba Pecinan Jakarta

Sekba Pecinan Jakarta: Jejak Kuliner Legendaris yang Bikin Rindu

Jakarta, blessedbeyondwords.com – Jakarta bukan sekadar pusat bisnis dan politik. Di balik gedung-gedung pencakar langit dan jalanan macetnya, kota ini menyimpan denyut kehidupan yang tak pernah tidur—terutama di dunia kuliner. Saat malam turun dan lampu kota berpendar, kawasan Pecinan di Jakarta berubah menjadi surga bagi para pecinta makanan. Dari sekian banyak menu legendaris yang tersaji, ada satu hidangan yang kerap jadi perbincangan: sekba Pecinan Jakarta.

Sekba, bagi sebagian orang, mungkin terdengar asing. Tapi bagi warga Jakarta yang tumbuh di sekitar kawasan Glodok atau Petak Sembilan, sekba bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kehangatan, tradisi, sekaligus pengalaman kuliner yang tak tergantikan.

Bayangkan suasana malam di Glodok: asap tipis mengepul dari wajan, aroma rempah dan bawang putih tercium dari kejauhan, lalu terdengar suara pedagang berteriak pelan menawarkan sekba panas-panas. Seorang pelanggan setia, Pak Herman, yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Jakarta Barat, pernah berkata, “Kalau makan sekba itu, rasanya kayak pulang ke rumah. Hangat, gurih, manis, semua jadi satu.”

Apa Itu Sekba?

Sekba Pecinan Jakarta

Sekba adalah hidangan khas Tionghoa-Peranakan berupa olahan daging babi dan jeroan yang dimasak dengan bumbu rempah bercita rasa manis-gurih. Dalam penyajiannya, sekba biasanya terdiri dari potongan daging, usus, lidah, telinga, hingga kulit babi yang direbus lama dengan campuran kecap asin, bawang putih, jahe, kayu manis, cengkeh, dan berbagai rempah lainnya.

Kuah sekba berwarna cokelat pekat dengan rasa manis gurih yang menempel di lidah. Aroma khasnya yang tajam berasal dari perpaduan rempah dan kecap. Sekilas, sekba sering disandingkan dengan hidangan seperti bak kut teh atau semur Betawi, tapi karakter rasanya sangat berbeda.

Uniknya, sekba tidak disajikan dalam mangkuk kuah penuh, melainkan dalam bentuk potongan daging dan jeroan yang diambil langsung dari panci besar berisi kuah rebusan, lalu ditiriskan sebelum disajikan di piring. Kuahnya biasanya dituangkan sedikit saja, sekadar memberi sentuhan rasa tambahan.

Di Jakarta, sekba lebih populer dijual malam hari. Para pedagangnya tersebar di sudut-sudut Pecinan, berdiri dengan gerobak sederhana yang dilengkapi panci besar berisi kuah rebusan sekba.

Sejarah Sekba di Pecinan Jakarta

Hidangan ini dipercaya sudah hadir di Jakarta sejak era kolonial, dibawa oleh imigran Tionghoa yang menetap di kawasan Pecinan. Nama “sekba” sendiri diyakini berasal dari bahasa Hokkian.

Awalnya, sekba adalah makanan rakyat, karena dibuat dari bagian daging babi yang dianggap kurang bernilai, seperti jeroan atau potongan yang keras. Namun, berkat kreativitas masyarakat Tionghoa, bagian-bagian itu diolah dengan teknik slow cooking dan bumbu rempah sehingga berubah menjadi hidangan lezat.

Di Pecinan Jakarta, khususnya di kawasan Glodok, sekba menjadi salah satu kuliner legendaris yang bertahan lintas generasi. Pedagangnya sering kali merupakan pewaris usaha keluarga, menjaga resep turun-temurun tanpa banyak perubahan. Itulah sebabnya, rasa sekba yang kita cicipi hari ini masih sama autentiknya dengan puluhan tahun lalu.

Ada satu kisah menarik dari keluarga Tjoa, salah satu pedagang sekba yang sudah berjualan di Glodok sejak 1960-an. Menurut cerita cucunya, sang kakek dulu hanya berjualan dengan lampu minyak di pinggir jalan. Kini, meski gerobaknya lebih modern dengan lampu neon terang, resep sekba yang dipakai masih persis sama.

Sensasi Rasa dan Cara Penyajian

Mencicipi sekba Pecinan Jakarta adalah pengalaman yang tak sekadar soal rasa, melainkan juga ritual. Saat dipesan, penjual akan mengambil pisau tajam lalu memotong jeroan yang sudah empuk itu dengan cepat dan rapi. Potongan kemudian ditaruh di piring, diberi sedikit kuah, dan disajikan bersama sambal cuka atau sambal cabai rawit.

Cita rasa sekba begitu kompleks: manis dari kecap, gurih dari kaldu daging, dan hangat dari rempah. Teksturnya pun bervariasi, dari empuknya daging, kenyalnya kulit, hingga renyahnya bagian telinga. Kombinasi ini membuat setiap gigitan terasa unik.

Biasanya, sekba disantap dengan nasi putih panas. Beberapa orang suka menikmatinya dengan tambahan bakpao kukus polos sebagai pelengkap. Ada juga yang menjadikannya sebagai camilan malam, ditemani segelas teh hangat.

Tidak sedikit warga Jakarta yang rela datang jauh-jauh ke Glodok hanya untuk sekba. Seorang mahasiswa asal Depok pernah bercerita, “Kalau lagi stres karena skripsi, saya naik kereta sore-sore ke Jakarta Kota, jalan ke Glodok, dan makan sekba. Rasanya semua beban hilang.”

Sekba dan Identitas Kuliner Jakarta

Kuliner adalah cermin identitas sebuah kota. Sekba bukan hanya makanan, tetapi juga jejak sejarah dan budaya. Pecinan Jakarta menjadi saksi bagaimana imigran Tionghoa membawa serta tradisi kuliner mereka, lalu beradaptasi dengan bahan lokal dan selera masyarakat Indonesia.

Sekba juga menunjukkan bagaimana sebuah makanan yang dulu dianggap “kelas bawah” bisa berubah menjadi kuliner legendaris yang dicari banyak orang. Fenomena ini mirip dengan semur Betawi atau sate kambing yang awalnya makanan rakyat, lalu kini jadi simbol budaya kuliner kota.

Keberadaan sekba juga penting dalam menjaga keberagaman kuliner Jakarta. Di tengah menjamurnya restoran modern dan fast food, sekba tetap bertahan dengan kesederhanaannya. Bahkan, banyak food blogger dan jurnalis kuliner menjadikannya sebagai ikon “kuliner malam Jakarta” yang wajib dicoba.

Tantangan dan Masa Depan Sekba Pecinan

Meski tetap eksis, sekba Pecinan menghadapi tantangan besar. Pertama, dari sisi generasi penerus. Banyak anak muda keturunan pedagang sekba yang memilih profesi lain, sehingga dikhawatirkan tradisi ini bisa terputus. Kedua, dari sisi kesehatan. Karena berbahan dasar daging babi berlemak dan jeroan, sekba sering dianggap makanan yang “berat” dan tidak cocok untuk semua orang.

Namun, di era modern, beberapa pedagang mulai melakukan inovasi. Ada yang membuat sekba versi lebih sehat dengan mengurangi penggunaan lemak, ada pula yang menghadirkan sekba halal dengan mengganti bahan babi dengan daging sapi. Walaupun begitu, bagi para pencinta kuliner klasik, sekba versi original tetap tak tergantikan.

Kesimpulan: Sekba, Lebih dari Sekadar Hidangan

Sekba Pecinan Jakarta adalah salah satu harta karun kuliner ibu kota. Ia bukan hanya hidangan malam yang mengenyangkan, tetapi juga potongan sejarah, identitas budaya, dan pengalaman emosional bagi banyak orang.

Di balik semangkuk sekba, tersimpan cerita panjang tentang imigrasi, adaptasi, dan keberagaman. Mungkin sekba tidak sepopuler martabak atau sate, tetapi bagi mereka yang pernah mencicipinya, sekba adalah kenangan yang sulit dilupakan.

Jadi, jika suatu malam Anda berada di kawasan Glodok, cobalah berhenti sejenak di depan gerobak sekba. Hirup aromanya, dengarkan hiruk pikuk Pecinan, lalu nikmati potongan demi potongan jeroan empuk yang penuh cita rasa. Mungkin, di sanalah Anda akan mengerti mengapa sekba tetap bertahan sebagai ikon kuliner Jakarta.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Kwetiau Sapi 78 Mangga Besar: Legenda Kuliner Malam Jakarta

Author