Sup Anjing

Sup Anjing: Kontroversi, Tradisi, dan Realitas di Balik Kuliner

Jakarta, blessedbeyondwords.com – Ada kalanya makanan bukan hanya soal rasa, melainkan juga tentang identitas, budaya, bahkan moralitas. Sup anjing adalah salah satu contoh paling nyata. Di satu sisi, ada masyarakat yang menganggapnya sebagai hidangan tradisional penuh makna, di sisi lain, banyak yang menolak keras dengan alasan etika dan kesejahteraan hewan.

Di Indonesia sendiri, konsumsi daging anjing bukan hal yang sepenuhnya asing. Beberapa daerah seperti Minahasa di Sulawesi Utara dan sebagian komunitas di Sumatra memiliki tradisi mengonsumsi daging anjing, baik dalam bentuk sate, rica-rica, maupun sup. Hidangan ini sering kali disajikan dalam perayaan khusus atau acara adat.

Seorang jurnalis pernah menceritakan pengalaman liputannya di Tomohon, Sulawesi Utara. Ia diajak seorang keluarga lokal mencicipi sup anjing saat festival budaya. “Bagi mereka, hidangan ini bukan sekadar makanan, tapi simbol kebersamaan. Sementara bagi saya, rasanya menimbulkan dilema batin,” tulisnya.

Kisah semacam ini menunjukkan bagaimana sup anjing selalu hadir dalam ruang abu-abu: antara kebiasaan lokal dan nilai-nilai global yang semakin menentangnya.

Sejarah dan Jejak Tradisi Kuliner

Sup Anjing

Tradisi mengonsumsi daging anjing sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa praktik ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu di Asia Timur, terutama di Tiongkok, Korea, dan Vietnam. Di Korea, misalnya, bosintang—sup anjing dengan rempah-rempah—sering dianggap makanan penghangat tubuh saat musim panas.

Di Minahasa, Sulawesi Utara, masyarakat menyebut daging anjing sebagai RW (Rintek Wuuk) yang berarti “bulu halus”. Pengolahannya tidak sekadar memasak, tapi melibatkan bumbu rempah khas seperti rica, jahe, sereh, dan daun jeruk. Sup anjing, dalam konteks budaya Minahasa, sering dikaitkan dengan perayaan keluarga atau acara adat yang melibatkan banyak orang.

Seorang peneliti kuliner Nusantara bahkan pernah menulis bahwa sup anjing adalah representasi dari “kuliner identitas”, yaitu makanan yang melekat pada budaya tertentu meski dianggap tabu oleh kelompok lain. Sama seperti babi di masyarakat Muslim atau sapi di kalangan Hindu, daging anjing punya posisi sensitif di dunia kuliner.

Kontroversi Etika dan Kesehatan

Meski masih dikonsumsi sebagian masyarakat, sup anjing tak lepas dari kontroversi. Ada dua isu utama yang sering mencuat: etika dan kesehatan.

  1. Etika dan Hak Hewan
    Banyak aktivis menentang konsumsi daging anjing karena anjing dianggap sahabat manusia. Mereka menilai praktik ini melanggar nilai kemanusiaan, terutama jika hewan-hewan itu diperlakukan tidak layak sebelum disembelih.

  2. Kesehatan dan Keamanan Pangan
    Organisasi kesehatan menyoroti risiko penularan penyakit, termasuk rabies. Konsumsi daging anjing dari sumber yang tidak jelas bisa meningkatkan ancaman zoonosis. WHO sendiri pernah mengingatkan soal rantai distribusi daging anjing yang kerap tidak memenuhi standar kesehatan.

Beberapa tahun lalu, pemberitaan nasional sempat heboh ketika sejumlah pasar di Jawa terungkap menjual daging anjing tanpa label jelas. Kasus ini memicu perdebatan sengit: antara menghormati budaya lokal dan kewajiban melindungi kesehatan publik.

Perspektif Global dan Gerakan Penolakan

Fenomena sup anjing juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan global. Di banyak negara, gerakan menolak konsumsi daging anjing semakin kuat. Korea Selatan, yang selama berabad-abad punya tradisi bosintang, kini perlahan meninggalkan praktik itu. Bahkan, pemerintah Seoul beberapa kali mengumumkan wacana penghentian perdagangan daging anjing.

Di Indonesia, sejumlah organisasi pecinta hewan terus mengampanyekan gerakan “Dog Meat Free Indonesia”. Mereka menyoroti praktik penyembelihan anjing yang dinilai tidak manusiawi, serta risiko kesehatan bagi konsumen.

Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat adat merasa disudutkan. Bagi mereka, sup anjing adalah bagian dari warisan budaya. Menghapusnya sama dengan memutus rantai tradisi yang sudah diwariskan turun-temurun.

Konflik ini memperlihatkan bagaimana makanan bisa menjadi medan tarik menarik antara modernitas global dan lokalitas tradisi.

Masa Depan Sup Anjing – Bertahan atau Hilang?

Pertanyaan besar muncul: apakah sup anjing akan tetap bertahan di masa depan, atau perlahan hilang digilas arus globalisasi?

Melihat tren saat ini, ada indikasi kuat bahwa konsumsi daging anjing akan semakin berkurang. Generasi muda di Minahasa, misalnya, mulai beralih ke makanan modern. Sebagian besar lebih memilih kuliner yang dianggap lebih aman dan diterima secara global.

Namun, bagi generasi tua, sup anjing masih punya makna emosional. Bagi mereka, menolak sup anjing sama dengan menolak identitas. Perubahan ini, pada akhirnya, akan bergantung pada bagaimana masyarakat lokal mendefinisikan kembali tradisi mereka di era modern.

Seorang antropolog kuliner menyebut, “Makanan selalu bergerak, berubah, dan beradaptasi. Sup anjing mungkin akan hilang dari meja makan publik, tapi akan tetap hidup dalam ingatan kolektif sebagai bagian dari sejarah kuliner Nusantara.”

Penutup

Sup anjing adalah bukti nyata bahwa makanan tidak pernah netral. Ia bisa menjadi simbol budaya, sekaligus medan kontroversi. Di satu sisi, ia mencerminkan warisan tradisi yang kaya. Di sisi lain, ia memunculkan pertanyaan etika dan kesehatan yang sulit diabaikan.

Bagi sebagian orang, sup anjing adalah nostalgia, bagian dari identitas. Namun bagi banyak yang lain, ia adalah simbol praktik yang sudah seharusnya ditinggalkan.

Apapun pandangan Anda, satu hal pasti: sup anjing adalah bagian dari kisah panjang kuliner Indonesia—kisah yang mengingatkan kita bahwa makanan tidak hanya soal lidah, tapi juga tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan menuju.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Donat Ketawa: Camilan Tradisional yang Bikin Senyum Bikin Nagih

Author