Jakarta, blessedbeyondwords.com – Suatu malam di Yogyakarta, ketika angin dingin berembus dari utara dan jalan Malioboro mulai sepi, seorang pedagang mendorong gerobak dengan suara khas: “Wedang ronde… hangat, manis, jahe…”
Asap tipis mengepul dari panci, aroma jahe menyebar di udara, dan lampu minyak kecil memantul di mangkuk porselen.
Bagi banyak orang, itulah momen yang tidak tergantikan — momen di mana wedang ronde hadir bukan hanya sebagai minuman, tapi sebagai pelukan hangat dalam bentuk cair.
Wedang ronde adalah minuman tradisional khas Jawa yang terbuat dari air jahe, gula merah, dan bola-bola kecil dari tepung ketan yang disebut ronde.
Biasanya disajikan dengan tambahan kacang tanah sangrai, potongan roti tawar, kolang-kaling, dan terkadang biji selasih.
Perpaduan rasa pedas jahe, manis gula, dan kenyalnya ronde menciptakan sensasi yang menenangkan.
Di tengah cuaca dingin atau malam yang panjang, wedang ronde selalu punya tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia.
Asal Usul Wedang Ronde: Dari Tiongkok ke Jawa Tengah

Meski identik dengan budaya Jawa, sebenarnya wedang ronde memiliki akar yang panjang dan lintas budaya.
Konon, minuman ini berasal dari Tiongkok dengan nama Tangyuan, sajian yang dibuat dari bola ketan berisi kacang manis dan disajikan dalam kuah jahe.
Tradisi minum tangyuan biasanya dilakukan pada perayaan Dongzhi Festival — momen pergantian musim dingin yang menandai harapan baru.
Ketika budaya Tionghoa berasimilasi dengan masyarakat Jawa, resep tersebut mengalami perubahan sesuai selera lokal.
Jahe yang digunakan lebih pedas, bola ketan tidak selalu berisi, dan tambahan roti tawar serta kacang tanah memperkaya tekstur.
Nama tangyuan pun berganti menjadi ronde, sementara kata wedang berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti “minuman hangat”.
Hasilnya adalah adaptasi kuliner yang sempurna: sederhana tapi penuh makna, seperti falsafah hidup masyarakat Jawa itu sendiri — “urip iku kudu anget” (hidup harus hangat).
Rahasia di Balik Rasa: Komposisi dan Proses Pembuatan
Membuat wedang ronde tidak sekadar memasak — ia adalah seni menciptakan harmoni antara rasa dan suasana.
a. Kuah Jahe
Bagian terpenting dari wedang ronde adalah kuahnya.
Jahe segar dibakar terlebih dahulu untuk mengeluarkan aroma khas, kemudian direbus bersama daun pandan, serai, dan gula merah.
Aromanya harum, sedikit pedas, tapi menenangkan.
Beberapa penjual menambahkan sedikit garam agar rasa manisnya lebih seimbang.
b. Bola Ronde
Dibuat dari tepung ketan putih yang diuleni dengan air hangat hingga kalis.
Adonan dibentuk bulat kecil, ada yang polos dan ada yang berisi kacang tanah tumbuk manis.
Setelah direbus hingga mengapung, ronde siap direndam dalam kuah jahe hangat.
c. Pelengkap
Tambahan klasik seperti roti tawar potong, kacang sangrai, kolang-kaling, dan biji selasih memberikan kontras tekstur — lembut, renyah, dan kenyal sekaligus.
Beberapa daerah juga menambahkan cincau hitam atau tape ketan untuk variasi rasa yang lebih kaya.
Satu mangkuk wedang ronde bukan hanya minuman, tapi representasi keseimbangan: hangat dan manis, lembut dan pedas, tradisional tapi selalu relevan.
Wedang Ronde di Mata Budaya Jawa
Dalam budaya Jawa, wedang ronde bukan hanya penghangat tubuh, tetapi juga simbol keakraban.
Ia sering disajikan dalam acara keluarga, malam kumpul warga, atau sebagai suguhan bagi tamu yang datang larut malam.
Ada filosofi sederhana di baliknya: hangatnya jahe adalah lambang ketulusan tuan rumah kepada tamu.
Minuman ini juga menjadi bagian dari ritual sosial di banyak daerah.
Di kota seperti Solo dan Yogyakarta, wedang ronde sering dinikmati bersama teman sambil duduk lesehan di pinggir jalan.
Obrolan ringan, tawa kecil, dan asap yang naik dari mangkuk menjadi pemandangan yang selalu romantis.
Di beberapa daerah, terutama di pedesaan Jawa Tengah, wedang ronde juga dipercaya memiliki khasiat penyembuhan.
Jahe dianggap sebagai bahan alami untuk meningkatkan daya tahan tubuh, memperlancar peredaran darah, dan menghangatkan badan dari dalam.
Tidak heran bila banyak orang minum wedang ronde saat musim hujan atau saat tubuh terasa pegal.
Evolusi Modern: Wedang Ronde di Era Kopi dan Kafe
Dulu, wedang ronde hanya bisa ditemukan di warung kaki lima.
Namun kini, ia telah menjelma menjadi menu eksklusif di banyak kafe modern dan restoran tematik.
Di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, wedang ronde tampil dengan sentuhan baru — disajikan dalam gelas kaca elegan, dengan foam susu, bahkan ada versi iced ronde latte.
Beberapa kafe menambahkan topping seperti es krim vanila atau taburan kayu manis untuk memperluas pasar milenial.
Namun, esensinya tetap sama: rasa hangat dan nostalgia yang mengingatkan kita pada rumah, masa kecil, dan kehangatan keluarga.
Perpaduan tradisi dan modernitas ini menunjukkan bahwa kuliner klasik seperti wedang ronde mampu beradaptasi tanpa kehilangan jiwanya.
Di tengah tren kopi, boba, dan minuman kekinian, ronde tetap punya pesonanya sendiri — sederhana tapi mengena.
Fakta Menarik Tentang Wedang Ronde
- 
Musim Terbaik: Wedang ronde paling laris saat musim hujan. Banyak pedagang mengaku penghasilannya bisa naik dua kali lipat di bulan Desember hingga Februari. 
- 
Warna Bola Ketan: Tradisionalnya putih dan merah muda, namun kini banyak versi warna-warni alami dari pandan, ubi ungu, dan bunga telang. 
- 
Makna Filosofis: Bentuk bulat ronde melambangkan keutuhan dan kebersamaan — mirip dengan filosofi keluarga dalam budaya Jawa dan Tionghoa. 
- 
Harga Rakyat, Rasa Istana: Meskipun kaya rasa dan makna, wedang ronde tetap terjangkau. Di banyak tempat, semangkuknya masih bisa dinikmati dengan harga kurang dari sepuluh ribu rupiah. 
Penutup: Secangkir Hangat yang Menyimpan Cerita
Wedang ronde bukan hanya tentang jahe, gula, dan ketan. Ia adalah kisah tentang kebersamaan, tentang malam-malam panjang di bawah lampu jalan, tentang tawa kecil di tengah dingin, dan tentang cinta sederhana yang disajikan dalam mangkuk kecil.
Di dunia yang semakin cepat dan individualistis, wedang ronde mengingatkan kita untuk berhenti sejenak — menikmati kehangatan, berbagi cerita, dan merasakan kembali kedekatan yang kadang terlupakan.
Jadi, lain kali ketika hujan turun dan udara menusuk kulit, mungkin bukan sekadar jaket yang Anda butuhkan.
Mungkin hanya semangkuk wedang ronde, dan hati yang siap untuk merasa hangat kembali.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Kolak Pisang Ramadhan — Manisnya Tradisi yang Tak Pernah Padam di Setiap Bulan Suci

 
			 
			 
			