Big Arch Burger

Big Arch Burger: Mengupas Sensasi Rasa, Gimmick, dan Strategi

Ada satu momen yang nggak akan saya lupa: siang panas di Jakarta Selatan, saya duduk di resto cepat saji dengan teman SMA, lalu datanglah—Big Arch Burger. Bentuknya… massive. Ukurannya mungkin sebanding dengan kepala bayi. Kami langsung saling tatap dan tertawa, karena ini bukan burger biasa. Ini burger yang datang dengan cerita, gimmick, dan daya tarik sosial media.

Big Arch Burger bukan sekadar santapan. Ini ikon, sebuah pernyataan. Beberapa orang datang karena rasa lapar, tapi lebih banyak yang datang karena lapar… konten. Dengan bentuk besar dan kemasan mencolok (kadang ada stiker bertuliskan “Limited Edition” atau bahkan desain emas), burger ini jadi magnet kamera. Bahkan sebelum suapan pertama, Instagram udah menang duluan.

Tapi pertanyaannya adalah: apakah hype ini sekadar strategi pemasaran, atau memang ada sesuatu yang benar-benar layak dibanggakan?

Apa Itu Big Arch Burger, dan Siapa Dalangnya?

Big Arch Burger

Sebelum kita telanjur tergoda oleh visualisasi saus meleleh dan roti yang tampak empuk, kita harus tahu asal muasalnya.

Big Arch Burger awalnya diluncurkan oleh salah satu brand fast food global (nggak perlu sebut merek, tapi ya kamu tahu siapa). Tujuannya jelas: menciptakan buzz di pasar makanan cepat saji yang sudah jenuh dengan menu standar.

Burger ini biasanya hadir dalam ukuran ekstra besar, lengkap dengan dua atau tiga lapis daging, keju meleleh, tumpukan sayur, dan signature sauce yang katanya rahasia (walau kayaknya masih ada mirip-mirip thousand island dicampur mustard).

Marketing-nya? Jenius.

“Limited time only.”

“Extra big bite for the bold.”

“Not for the faint of hunger.”

Kalimat-kalimat seperti itu dilempar ke media sosial dan billboard, dan boom! Semua orang pengin coba. Bahkan YouTuber kuliner pun bikin konten “Big Arch Burger Challenge” yang viral di TikTok.

Di baliknya, tentu ada tim R&D dan marketing yang paham betul: pasar kita suka makanan yang besar, Instagrammable, dan bisa dijadikan bahan cerita.

Mengupas Rasa—Apakah Seenak Itu?

Oke, kita bahas yang penting: rasa.

Saya sudah mencoba dua versi Big Arch Burger—yang reguler dan edisi spesial spicy cheddar. Kesannya? Campur aduk. Tapi jujur dan apa adanya.

Bun (Roti)

Positif dulu. Roti yang digunakan memang lebih empuk dari burger reguler. Ada semacam butter-glazed yang bikin aroma karamel ringan waktu burger disajikan. Tapi karena ukurannya besar, bagian tengah roti kadang terlalu padat dan kayak kue bolu—nggak airy seperti brioche premium.

Patty (Daging)

Patty-nya tebal dan juicy. Tapi tergantung batch. Kadang overcooked, kadang pas. Saat pas, kombinasi rasa smoky dan beefy-nya bikin ketagihan. Tapi ada juga hari sial saya di mana patty-nya kering dan chewy. Ini sepertinya tergantung siapa yang jaga grill.

Keju & Saus

Sausnya enak. Ada tendangan asam dan manis, bikin segar. Tapi jujur, keju slice-nya kurang melt. Mungkin karena pendinginan atau komposisi suhu. Ini minor, tapi kalau mau feel-nya maksimal, seharusnya keju benar-benar lumer dan menyatu.

Sayur

Lettuce-nya crispy, tomatnya segar. Tapi kadang tumpukannya terlalu banyak, sampai bikin susah menggigit tanpa berantakan.

Overall?

Rasa Big Arch Burger enak, tapi tidak revolusioner. Yang membuat dia spesial adalah ukuran dan presentasinya. Kalau kamu cari burger dengan rasa terbaik, masih banyak burger lokal handmade yang lebih “niat”. Tapi kalau kamu cari pengalaman makan yang seru dan memorable? Big Arch Burger menang telak.

Kenapa Big Arch Burger Viral? Ini Strategi di Baliknya

Banyak orang berpikir burger viral muncul begitu saja karena “enak”. Padahal enggak sesimpel itu. Saya pernah ngobrol santai dengan seorang food brand strategist (sebut saja Mbak Sari). Dia bilang, ada tiga elemen yang bikin makanan seperti Big Arch Burger sukses di pasaran:

1. Visual First

Big Arch Burger didesain agar nampol di kamera. Mulai dari ukuran, warna kontras (merah saus, hijau lettuce, kuning keju), hingga pencahayaan di outlet yang sengaja dibuat warm white. Semua mendukung satu tujuan: fotogenik.

2. Limited Edition FOMO

Kalimat seperti “tersedia hanya 2 minggu” bikin orang merasa harus buru-buru beli. Padahal kadang burger itu comeback dua bulan lagi. Ini trik psikologis yang ampuh banget.

3. Kolaborasi & Challenge

Brand ini pernah kolab dengan influencer game dan lifestyle. Bahkan ada challenge #BigArchBite yang ngajak orang gigit burger ini dalam satu suapan (spoiler: gagal semua). Tapi seru, dan itu yang bikin konten viral.

Tambahkan sedikit kontroversi (ada yang bilang burgernya nggak halal di negara tertentu, misalnya), dan kamu punya ledakan sosial media yang sulit dihentikan.

Apakah Worth It? Dan Alternatif Lokal yang Nggak Kalah Enak

Big Arch Burger

Mari kita bicara jujur sebagai konsumen. Harga Big Arch Burger biasanya di atas Rp 65.000–85.000 (belum termasuk minum). Apakah worth it?

Kalau kamu:

  • Mau pengalaman unik

  • Suka burger gede dan messy

  • Ingin bikin konten makanan viral

Maka: YES. WORTH IT.

Tapi kalau kamu:

  • Cuma butuh burger untuk ganjal perut

  • Suka rasa yang lebih sophisticated

  • Punya budget terbatas

Maka: BETTER cari alternatif.

Rekomendasi Burger Lokal yang Layak Dicoba

  1. Lawless Burgerbar (Jakarta) – Burger dengan karakter dan rasa intens. Harga sedikit lebih tinggi, tapi worth setiap gigitan.

  2. Three Buns (Jakarta/Bali) – Gaya artisan, saus homemade, dan bun lembut yang autentik.

  3. Buns & Meat (Bandung) – Punya varian fusion seperti rendang burger yang nggak kalah “nendang”.

  4. Flip Burger (Beberapa kota besar) – Versi lokal yang udah banyak fans-nya, dan kualitas dagingnya cukup stabil.

Penutup: Big Arch Burger, Antara Sensasi dan Kenyataan

Sebagai pembawa berita yang sering meliput tren kuliner, saya bisa bilang: Big Arch Burger itu bukan soal rasa semata, tapi soal cerita.

Ia menjawab kebutuhan akan makanan yang bisa jadi bahan ngobrol, bahan konten, bahkan bahan nostalgia. Apakah dia burger terbaik? Mungkin tidak. Tapi dia punya keunggulan yang lebih sulit dinilai secara objektif—kemampuan menciptakan pengalaman.

Dan di dunia kuliner modern, itu lebih penting dari sekadar rasa enak. Karena makanan sekarang bukan cuma buat perut, tapi juga buat feed, memori, dan rasa ingin tahu.

Kalau kamu belum coba, coba aja. Minimal sekali. Kalau udah pernah, kasih tahu: menurut kamu, lebih enak dari hype-nya atau cuma gimmick?

Sampai ketemu di artikel kuliner berikutnya. Siapa tahu habis ini kita bahas Indomie rasa Korea, martabak Nutella, atau es kopi viral terbaru dari kedai di gang sempit.

Stay hungry, stay curious.

Baca Juga Artikel dari: Rendang Sushi Roll: Perpaduan Unik, Lezat & Kekinian!

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Author