Jakarta, blessedbeyondwords.com – “Eh, satu Thai Tea Bubble less sugar, less ice ya.”
Itulah salah satu kalimat paling sering terdengar di gerai minuman kekinian mana pun. Baik di mall, pinggir jalan, sampai aplikasi online. Tapi, pernahkah kita benar-benar mikir, kenapa minuman ini bisa begitu meledak?
Saya akan ajak kamu menyelami cerita di balik minuman jingga bersusu yang tak pernah gagal memikat. Kita akan mengulik lebih dari sekadar rasa: mulai dari sejarahnya, tren pasarnya, sampai dampaknya dalam dunia gaya hidup anak muda masa kini.
Dari Pasar Malam Bangkok ke Mall di Jakarta: Jejak Asal-Usul Thai Tea Bubble
Kalau kamu pernah ke Thailand, kamu pasti pernah lihat pedagang kaki lima yang sibuk mengocok teh dengan susu kental manis pakai shaker besar. Minumannya oranye terang, manis, creamy, dan punya aroma khas yang sulit dilupakan.
Itulah Thai Tea. Versi otentiknya disebut Cha Yen—teh hitam dengan rempah khas seperti adas manis, bunga lawang, kapulaga, dan kadang bahkan bubuk vanila. Dicampur susu kental manis dan susu evaporasi, hasil akhirnya? Creamy, aromatik, dan… addictive.
Lalu datanglah tren globalisasi makanan. Didorong oleh demam bubble tea dari Taiwan, akhirnya Thai Tea pun ikut masuk ke gelombang besar tren minuman kekinian. Maka lahirlah perpaduan manis: Thai Tea Bubble, atau orang Indonesia lebih suka menyebutnya “Thai Tea Boba.”
Kenapa Thai Tea Bubble Meledak? Psikologi di Balik Segelas Minuman
Mungkin kamu pernah berpikir: “Bukannya ini cuma teh manis dikasih susu dan boba doang?”
Well… tidak sesederhana itu.
A. Estetika dan Warna
Warnanya oranye kontras, berpadu dengan hitamnya boba, plus cup bening dan logo lucu. Bikin tiap orang yang megang pengen… ya, selfie dulu. Estetik. Cocok buat Instagram Story atau TikTok.
B. Tekstur vs Rasa
Yang bikin beda Thai Tea Bubble dengan teh susu biasa adalah pengalaman minumnya. Rasa creamy dari susu, aroma rempah teh khas Thailand, ditambah kenyalnya boba. Kombinasi tekstur dan rasa ini ternyata merangsang kepuasan sensorik otak kita.
C. FOMO & Budaya Nongkrong
Minuman ini sering diasosiasikan dengan gaya hidup kekinian. Nongkrong di boba shop, sambil buka laptop atau ngobrol santai. Belum minum Thai Tea Boba? Ketinggalan tren, bro.
Di Balik Produksi Segelas Thai Tea Boba: Rahasia Dapur yang Tak Banyak Orang Tahu
Banyak yang mengira bikin Thai Tea Bubble itu rumit. Padahal, bahan-bahannya sederhana—tapi butuh perhatian ke detail. Ini step-by-step ringkas yang biasa dipakai pelaku UMKM atau home brewer:
-
Teh Thailand Asli: Biasanya merk seperti ChaTraMue atau Thai Tea Number One digunakan.
-
Rempah Tambahan (opsional): Beberapa menambah bunga lawang, vanila, atau kapulaga.
-
Susu Evaporasi + Kental Manis: Inilah yang bikin khas banget. Campurannya harus pas.
-
Es Batu Segar: Esnya kadang dihancurkan, kadang diceplok utuh.
-
Boba (Pearl Tapioka): Direbus, diberi brown sugar, lalu dihidangkan hangat.
Proses ini mungkin tampak simpel, tapi butuh latihan untuk dapetin rasa yang “pas.” Konsistensi tekstur boba dan suhu minuman juga krusial.
Catatan menarik: Banyak boba shop punya SOP ketat soal waktu seduh teh dan waktu rebus boba. Kelewatan 1 menit saja bisa bikin rasa hambar atau tekstur boba jadi keras.
Perjalanan Thai Tea Bubble di Indonesia: Dari Franchise hingga UMKM Lokal
Kalau bicara pasar Indonesia, Thai Tea Boba punya cerita tersendiri. Sekitar tahun 2016-2017, muncul ledakan franchise minuman yang menjual Thai Tea dengan harga terjangkau. Mulai dari Dum Dum Thai Tea, Chapayom, hingga versi lokal seperti Nuguy Thai Tea, Rachacha, dan banyak lainnya.
Tiap brand bawa twist sendiri:
-
Ada yang fokus di harga murah meriah (Rp10.000-an).
-
Ada yang main di rasa autentik dan varian topping.
-
Ada juga yang menggabungkan dengan rasa lokal seperti Thai Tea Cendol atau Thai Tea Klepon. Gila sih, inovasinya.
Tak heran, Thai Tea Bubble jadi salah satu bisnis minuman paling menjanjikan. Bahkan, UMKM rumahan pun bisa survive hanya jualan Thai Tea dengan booth kecil di depan rumah atau lewat aplikasi online.
Pro dan Kontra: Di Balik Kelezatan, Ada Hal yang Perlu Disadari
Kelebihan:
-
Rasa unik dan bisa disesuaikan (less sugar, less ice, topping bebas).
-
Modal usaha terjangkau, cocok untuk pemula.
-
Tingkat repeat order tinggi, apalagi kalau rasanya konsisten.
Kekurangan:
-
Tinggi gula, jadi konsumsi berlebih bisa memicu risiko kesehatan (obesitas, diabetes).
-
Tidak semua teh Thailand halal, jadi pastikan pilih bahan bersertifikat.
-
Boba cepat basi, jadi harus habis dalam 4–6 jam.
Banyak pakar gizi menyarankan agar konsumsi Thai Tea Bubble tetap dikontrol. Idealnya, seminggu cukup 1–2 gelas. Sisanya? Air putih, ya.
Penutup: Bukan Sekadar Minuman, Tapi Budaya Pop Kekinian
Akhirnya kita sadar, Thai Tea Bubble bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol budaya, gaya hidup, bahkan identitas generasi digital yang suka eksplor rasa baru dan tampil gaya.
Dari pasar malam di Thailand ke booth kecil di perumahan Indonesia, perjalanan minuman ini adalah contoh sempurna bahwa rasa, kreativitas, dan koneksi sosial bisa hidup dalam satu gelas.
Dan buat kamu yang baca ini sambil menyeruput Thai Tea Bubble—selamat, kamu sedang jadi bagian dari sejarah budaya pop yang (ternyata) cukup kompleks dan manis. Sama kayak hidup, ya.
Baca Juga Artikel dari: Kue Lupis Lezat Tradisional yang Bikin Ketagihan
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food