Jakarta, blessedbeyondwords.com – Setiap kali Tahun Baru Imlek tiba, aroma manis khas gula merah seolah menyelimuti udara. Di meja-meja keluarga Tionghoa, tersaji berbagai hidangan simbolik: mulai dari ikan kukus, pangsit, hingga sajian paling ikonik — Kue Keranjang Imlek, atau dalam bahasa Mandarin disebut Nian Gao (年糕).
Kue lengket berwarna cokelat keemasan ini bukan hanya makanan, tetapi doa dalam bentuk rasa manis.
Sejarah kue keranjang sudah ada sejak ribuan tahun lalu di Tiongkok kuno. Kata Nian Gao berarti “kue tahun,” namun dalam pelafalan bahasa Mandarin juga terdengar seperti “tahun yang lebih tinggi.”
Karena itu, kue ini dipercaya membawa makna kenaikan rezeki, kemakmuran, dan keberuntungan bagi yang memakannya di awal tahun.
Di Indonesia, tradisi membuat dan menyantap Kue Keranjang Imlek sudah menjadi bagian dari budaya peranakan Tionghoa sejak abad ke-15.
Kue ini juga dikenal dengan berbagai sebutan: ti kue di Medan, dodol Cina di Jawa, atau nian gao di kalangan keluarga Tionghoa murni.
Namun di manapun namanya, maknanya tetap sama — pengikat keluarga dan simbol harapan baru.
Konon, ada legenda klasik yang mengatakan bahwa kue keranjang diciptakan untuk “menyogok Dewa Dapur” agar tidak melapor keburukan keluarga ke langit.
Karena teksturnya lengket dan manis, dipercaya Dewa Dapur akan sibuk menikmatinya dan lupa mengadu.
Meski terdengar jenaka, kisah ini memperlihatkan betapa makanan bisa menjadi medium spiritual dalam budaya Timur.
Filosofi Lengket dan Manis — Makna Tersirat dalam Setiap Lapisan

Setiap elemen dalam Kue Keranjang Imlek memiliki makna simbolis yang mendalam, terutama dalam konteks filosofi kehidupan dan hubungan keluarga.
-
Teksturnya yang lengket melambangkan keakraban dan kekompakan keluarga.
Kue ini mengingatkan setiap anggota keluarga untuk saling terikat, tidak terpisah, dan selalu bersama dalam suka maupun duka. -
Rasanya yang manis adalah harapan untuk tahun yang penuh kebahagiaan dan keberuntungan.
Manisnya bukan hanya di lidah, tetapi juga menjadi doa agar hidup terasa ringan dan menyenangkan di tahun baru. -
Warna cokelat keemasan mencerminkan kemakmuran dan kesuksesan.
Warna ini diibaratkan seperti emas, simbol rezeki yang terus mengalir sepanjang tahun. -
Bentuknya yang bundar melambangkan kesempurnaan dan kebulatan tekad.
Dalam tradisi Tionghoa, bentuk lingkaran selalu menjadi lambang keharmonisan yang tak terputus — sama seperti harapan agar keluarga tetap utuh.
Bagi banyak keluarga Tionghoa di Indonesia, membuat atau membeli Kue Keranjang Imlek bukan sekadar ritual, tapi juga cara menjaga hubungan dengan leluhur dan budaya asal.
Kue ini biasanya disajikan di altar persembahan sebagai bentuk penghormatan kepada arwah keluarga yang telah tiada.
Setelah upacara, kue tersebut dibagikan kepada keluarga dan tetangga sebagai tanda berbagi keberkahan.
Dari Dapur Tradisional ke Inovasi Modern — Evolusi Rasa Kue Keranjang
Jika dulu kue keranjang hanya dikenal dalam bentuk klasik — manis, padat, dan dibungkus daun pisang — kini dunia kuliner membawanya ke babak baru.
Kue keranjang modern hadir dengan berbagai inovasi rasa dan penyajian tanpa menghilangkan makna aslinya.
Beberapa inovasi populer antara lain:
-
Kue Keranjang Goreng Keju
Potongan kecil kue keranjang digoreng dengan balutan tepung renyah dan taburan keju parut. Teksturnya renyah di luar, lembut di dalam, dengan paduan rasa gurih-manis yang memikat. -
Kue Keranjang Lapis Kelapa dan Wijen
Disajikan bersama parutan kelapa muda dan wijen sangrai, memberi sensasi aroma khas yang membuatnya terasa lebih ringan. -
Kue Keranjang Kukus Pisang
Potongan kue keranjang dikukus bersama irisan pisang raja — menghasilkan cita rasa tropis yang legit dan wangi alami. -
Kue Keranjang Cake Roll
Kreasi modern ini menggunakan adonan sponge cake dengan lapisan kue keranjang di tengahnya. Cocok bagi generasi muda yang ingin menikmati tradisi dengan sentuhan kekinian.
Namun bagi banyak keluarga, versi klasik tetap tak tergantikan.
Aroma daun pisang yang dibakar, rasa karamel dari gula aren, dan kelembutan tekstur yang perlahan meleleh di mulut menghadirkan nostalgia masa kecil setiap kali Imlek tiba.
Proses Pembuatan yang Sarat Makna dan Kesabaran
Membuat kue keranjang bukan pekerjaan mudah.
Prosesnya membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan cinta, sebagaimana filosofi kehidupan yang diajarkan oleh leluhur Tionghoa.
Bahan utamanya sederhana:
-
Tepung beras ketan,
-
Gula merah,
-
Air, dan sedikit minyak.
Namun rahasia sejatinya ada pada proses pemasakan yang panjang.
Adonan dimasak dengan api kecil selama 8–10 jam sambil diaduk perlahan agar tidak gosong.
Saat mendidih, aroma gula dan ketan mulai menguar lembut — tanda bahwa kue sedang berubah dari cairan biasa menjadi simbol keberuntungan.
Setelah matang, adonan dituangkan ke dalam wadah bambu atau loyang yang dilapisi daun pisang.
Proses pengukusan pun tak kalah lama: bisa mencapai 12 jam hingga teksturnya padat sempurna.
Menariknya, kue keranjang tidak langsung dimakan setelah matang.
Biasanya disimpan selama beberapa hari agar teksturnya mengeras dan rasanya makin legit.
Semakin lama disimpan, semakin lezat — seolah ingin mengajarkan bahwa hal-hal baik memang membutuhkan waktu.
Kue Keranjang dalam Kehidupan Modern — Tradisi yang Tak Lekang oleh Zaman
Meski zaman berubah cepat dan generasi muda kian jarang membuatnya sendiri, kue keranjang tetap menjadi simbol keabadian tradisi.
Ia bukan sekadar makanan musiman, tapi pengingat akan nilai-nilai keluarga dan kesederhanaan.
Banyak toko kue modern kini menjual premium kue keranjang dengan kemasan elegan, lengkap dengan pita merah dan ukiran naga emas.
Namun di balik kemasan mewah itu, maknanya tetap sama: mengikat keluarga dalam rasa manis.
Menariknya, di berbagai daerah di Indonesia, kue keranjang kini juga dinikmati lintas budaya.
Bukan hanya oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga oleh orang Jawa, Sunda, hingga Betawi.
Hal ini membuktikan bahwa makanan tradisional bisa menjadi jembatan antarbudaya, menyatukan orang lewat cita rasa dan makna simbolisnya.
Beberapa keluarga bahkan menjadikan kue keranjang sebagai hadiah tahunan bagi kerabat atau rekan bisnis, sebagai bentuk doa agar hubungan tetap erat dan rezeki terus bertambah.
Kesimpulan: Kue Keranjang Imlek, Manis yang Menyatukan Generasi
Di tengah dunia modern yang serba cepat, kue keranjang Imlek tetap berdiri sebagai simbol ketenangan, kesabaran, dan kebersamaan.
Setiap lapisannya adalah cerita — tentang leluhur yang bijak, keluarga yang hangat, dan harapan untuk masa depan yang lebih manis.
Rasanya mungkin sederhana, tapi maknanya begitu dalam: bahwa keberuntungan sejati bukan datang dari kemewahan, melainkan dari hubungan yang lengket dan manis seperti kue itu sendiri.
Ketika lilin merah menyala dan suara petasan bergema di udara, sepotong kue keranjang menjadi pengingat kecil:
bahwa tahun baru bukan hanya tentang permulaan baru, tetapi juga tentang menghargai akar dan kenangan lama.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Granola Yoghurt: Perpaduan Sehat dan Lezat yang Jadi Tren Gaya Hidup Modern
