Jakarta, blessedbeyondwords.com – Di antara deretan jajanan pasar Indonesia yang kian beragam, kue Geplak tetap menjadi salah satu yang paling mencolok. Bukan hanya karena warnanya yang terang mencolok mata—pink, kuning, hijau, bahkan ungu—tapi juga karena cita rasanya yang tidak malu-malu: manis banget!
Geplak adalah camilan tradisional khas Yogyakarta, khususnya dari wilayah Bantul. Bentuknya bulat atau sedikit pipih, teksturnya padat namun sedikit empuk, dan dibuat dari kelapa parut, gula, serta tepung beras. Rasanya? Kalau kamu belum pernah coba, bayangkan sensasi makan kelapa manis dalam bentuk bola kecil yang menggigit. Kadang bikin ketagihan, kadang bikin ngelus dada karena terlalu manis—tapi justru di situ letak kekhasannya.
Saya pertama kali mengenal kue Geplak waktu diajak teman berkunjung ke rumah neneknya di Imogiri. Waktu itu, beliau menghidangkan piring anyaman bambu berisi Geplak berbagai warna. Saya ambil satu yang hijau, lalu terdiam setelah gigitan pertama. “Wah ini serius manisnya?” tanya saya. Si ibu cuma ketawa sambil bilang, “Kalau belum kebas lidah, belum Geplak namanya.”
Ternyata, rasa manis pada Geplak bukan tanpa alasan. Di masa lalu, manisnya dianggap sebagai simbol kelimpahan rezeki dan harapan hidup manis, terutama dalam budaya Jawa yang sarat filosofi. Tak heran, Geplak kerap muncul di berbagai acara adat, dari hajatan sampai tasyakuran.
Sejarah dan Filosofi di Balik Kue Geplak
Untuk memahami kue Geplak, kita harus mundur ke belakang—ke masa ketika gula dan kelapa adalah simbol kemewahan di Jawa. Zaman dulu, bahan-bahan seperti gula pasir atau kelapa parut tidak semudah sekarang. Hanya rumah-rumah tertentu yang punya akses, apalagi saat panen belum tentu selalu baik. Maka, ketika Geplak dihidangkan, itu menandakan bahwa tuan rumah benar-benar ingin berbagi kebahagiaan.
Konon, nama “Geplak” berasal dari bunyi ‘plak’ saat adonan ditepuk-tepuk atau dibentuk dengan tangan. Dalam bahasa Jawa, “geplak” juga bisa berarti menepuk dengan keras. Bisa jadi ini semacam plesetan lucu tentang cara membuatnya, atau metafora tentang rasa manisnya yang ‘menampar’ lidah.
Kue ini juga menyimpan filosofi lokal: bahwa dalam hidup, ada kalanya kita butuh kesederhanaan, tetapi juga harus ada momen untuk merayakan. Rasa manis dalam Geplak jadi semacam pengingat, bahwa walaupun hidup itu getir, kita tetap berhak mencicipi kebahagiaan.
Saking terkenalnya, Geplak pernah masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena nilai tradisinya yang masih bertahan hingga kini. Di tengah invasi dessert Korea atau Jepang, Geplak tetap punya tempat di hati banyak orang, khususnya warga Yogya yang bangga akan budayanya.
Proses Pembuatan Geplak Tradisional yang Penuh Ketelatenan
Buat kamu yang penasaran, proses membuat Geplak sebenarnya sederhana, tapi butuh ketelatenan. Di balik bentuknya yang mungil, ada teknik yang harus dikuasai agar hasilnya tidak terlalu keras, tidak terlalu lembek, dan tidak terlalu ‘gosong’.
Berikut ini bahan utama Geplak:
-
Kelapa parut (yang tidak terlalu tua)
-
Gula pasir (kadang dicampur gula merah)
-
Tepung beras atau kadang tanpa tepung
-
Pewarna makanan alami (dari pandan, kunyit, bit, atau ubi)
-
Sedikit garam untuk menyeimbangkan rasa
Langkah Pembuatan:
-
Sangrai kelapa parut sampai agak kering dan harum. Ini untuk mengurangi kadar air agar Geplak bisa tahan lama.
-
Rebus gula dan sedikit air sampai menjadi sirup kental.
-
Campurkan kelapa parut ke dalam sirup, lalu aduk terus sampai adonan mengental dan menggumpal.
-
Tambahkan pewarna sesuai selera.
-
Angkat, diamkan sebentar, lalu bentuk bola kecil dengan tangan (di sinilah proses ‘geplak’ terjadi).
-
Biarkan mengeras pada suhu ruang.
Satu batch bisa menghasilkan puluhan Geplak. Tapi yang menarik, rasa tiap pembuat bisa berbeda, tergantung kadar kelapanya, jenis gula yang dipakai, bahkan cara mengaduknya.
Di beberapa pasar tradisional seperti Pasar Beringharjo atau Pasar Bantul, kamu masih bisa menemukan penjual Geplak rumahan yang mempertahankan resep turun-temurun. Mereka biasanya tidak pakai pengawet atau perisa buatan. Pure skill dan kesabaran.
Evolusi Geplak di Zaman Modern – Dari Cemilan ke Identitas Budaya
Meski Geplak lahir dari dapur tradisional, kini ia mulai bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Para produsen dan UMKM di Yogyakarta mulai menyadari bahwa Geplak tak boleh ketinggalan zaman kalau ingin tetap eksis di pasar.
Beberapa inovasi yang mulai bermunculan:
-
Geplak Kekinian: Beberapa versi baru hadir dengan tambahan rasa seperti coklat, keju, matcha, hingga kopi. Ini bertujuan agar Geplak bisa lebih diterima oleh generasi muda yang terbiasa dengan rasa fusion.
-
Kemasan Modern: Dulu Geplak dijual dalam wadah plastik biasa atau dibungkus kertas minyak. Sekarang, sudah banyak yang dikemas dalam kotak elegan, siap dijadikan oleh-oleh eksklusif.
-
Tampilan Instagramable: Warna-warna Geplak diperhalus agar lebih pastel atau earth tone, disesuaikan dengan selera visual generasi digital.
-
Festival Geplak: Di Bantul, pemerintah daerah rutin mengadakan festival makanan tradisional, dan Geplak selalu jadi ikon utama. Bahkan ada lomba menghias Geplak dan workshop cara membuatnya untuk pelajar.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dunia terus berubah, kue tradisional seperti Geplak tetap bisa relevan asalkan ada keberanian untuk beradaptasi tanpa mengorbankan nilai asli.
Saya pernah membeli Geplak versi modern yang dikemas seperti praline, dengan rasa kopi dan coklat hitam. Rasanya? Tetap manis, tapi lebih earthy dan cocok di lidah saya yang biasanya ogah makan Geplak biasa. Lucunya, ibu saya tetap bilang versi klasik lebih ‘ngena’. Dan itu memang soal selera dan nostalgia.
Geplak sebagai Oleh-Oleh dan Simbol Cinta Budaya Lokal
Kalau kamu pernah ke Yogyakarta dan mampir ke toko oleh-oleh seperti Bakpia Pathok 25 atau Malioboro Oleh-Oleh Center, kamu pasti pernah melihat rak khusus penuh Geplak warna-warni. Yup, Geplak sudah menjadi ikon oleh-oleh khas Bantul dan Yogyakarta.
Biasanya dijual dalam kotak isi 10 hingga 50 biji, dengan label “Geplak Asli Bantul”. Harga bervariasi, mulai dari Rp15.000 sampai Rp50.000 tergantung ukuran dan jenis kemasannya.
Tapi lebih dari sekadar oleh-oleh, Geplak adalah bentuk cinta terhadap budaya lokal. Saat kamu membeli atau menyantap Geplak, kamu tidak hanya menikmati rasa manis, tapi juga sedang menjadi bagian dari pelestarian warisan kuliner yang usianya mungkin lebih tua dari kakek nenekmu.
Di sekolah-sekolah di Yogyakarta, beberapa guru masih mengajarkan cara membuat Geplak dalam pelajaran keterampilan hidup. Di komunitas kuliner, Geplak jadi bahan diskusi soal ketahanan makanan lokal. Bahkan di kalangan milenial yang suka eksplorasi makanan unik, Geplak bisa menjadi topik konten yang menarik.
Dan akhirnya, mungkin kita butuh lebih banyak “Geplak” dalam hidup: sederhana tapi punya rasa, warna-warni tapi tetap satu bentuk, manis tapi penuh nilai.
Penutup
Kue Geplak adalah bukti bahwa makanan bukan hanya soal rasa. Ia adalah sejarah, budaya, dan cara satu generasi mewariskan kebahagiaan pada generasi berikutnya. Di tengah tren makanan viral dan gaya hidup cepat saji, Geplak hadir sebagai pengingat bahwa ada keindahan dalam hal-hal yang sederhana dan tak berubah.
Kalau kamu belum pernah coba Geplak, cari di toko oleh-oleh atau pasar tradisional. Kalau kamu sudah lama nggak makan Geplak, mungkin sekarang waktunya bernostalgia. Dan siapa tahu, kamu bisa jatuh cinta lagi dengan cita rasa masa kecil yang sempat terlupakan.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Shabu-shabu: Pengalaman Otentik dan Tips Anti Gagal Versi Gue