Jakarta, blessedbeyondwords.com – Bicara soal martabak manis coklat, sulit rasanya tidak merasa lapar secara instan. Aroma mentega panas yang menyatu dengan adonan empuk, berpadu dengan keju parut dan cokelat meleleh—mampu membangkitkan nostalgia siapa pun yang pernah menyantapnya, terutama di malam-malam kota yang penuh obrolan dan tawa.
Sebagian orang menyebutnya martabak terang bulan, sebagian lainnya tetap dengan istilah klasik: martabak manis. Apapun sebutannya, makanan ini punya posisi istimewa di hati masyarakat Indonesia. Bahkan, hampir setiap kota punya versi lokal atau vendor favoritnya sendiri.
Sejarah martabak manis sendiri cukup menarik. Makanan ini diyakini lahir dari pengaruh budaya Tionghoa dan Timur Tengah yang mengalami lokalitas di berbagai wilayah. Dalam perkembangannya di Indonesia, martabak manis mulai populer lewat pedagang kaki lima di pinggir jalan sejak era 70-an. Lalu berkembang luas seiring munculnya variasi rasa yang menggoda.
Salah satu cerita yang saya dapat dari Pak Roni, penjual martabak legendaris di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, cukup mengharukan. “Dulu saya cuma jualan dua rasa: cokelat dan kacang. Sekarang anak-anak muda minta topping aneh-aneh: red velvet, Toblerone, bahkan matcha latte. Tapi ya… martabak tetap martabak. Mau topping-nya apa, tetap dasarnya sama: empuk dan manis.”
Cerita-cerita seperti itu menandakan satu hal: bahwa martabak manis bukan hanya sekadar kudapan, tapi juga bagian dari narasi kuliner dan budaya urban Indonesia.
Filosofi Rasa – Dari Adonan Sederhana ke Topping Premium
Kalau ditanya apa yang membuat martabak manis berbeda dari pancake biasa, jawabannya mungkin ada pada perhatian terhadap detail dan teknik memasaknya yang khas. Tampak sederhana, tapi sebenarnya proses menciptakan satu loyang martabak yang sempurna membutuhkan sense tersendiri.
1. Adonan: Kunci dari Segalanya
Martabak manis dibuat dari campuran tepung terigu, telur, susu, ragi, dan air. Tapi yang membuatnya istimewa adalah fermentasi selama beberapa jam sebelum dipanggang. Proses ini memberi tekstur berpori dan empuk, seperti spons yang bisa menyerap semua lelehan topping.
Poin penting lain adalah teknik memanggang di atas wajan tebal dengan api kecil. Di sinilah seni martabak berada. Terlalu panas, bisa gosong. Terlalu cepat, adonan belum matang sempurna. Maka tak heran, banyak penjaja martabak senior yang lebih mengandalkan “perasaan” daripada timer digital.
2. Mentega dan Topping: Jiwa dari Martabak
Begitu matang, martabak tak dibiarkan begitu saja. Ia langsung disapu dengan mentega—biasanya merk Blue Band atau Wijsman untuk versi premium—lalu ditaburi topping berlimpah.
Topping klasik:
-
Cokelat meses (biasanya merek Colatta atau ceres klasik)
-
Keju parut
-
Kacang tanah tumbuk
-
Susu kental manis
Namun, kini telah berevolusi dengan topping kekinian:
-
Oreo
-
Toblerone
-
Lotus Biscoff
-
Matcha
-
Red velvet
-
Taro cream
-
Salted egg crumbs
Seorang teman saya pernah bilang, “Martabak ini kayak sahabat lama yang suka ganti gaya rambut. Isinya tetap sama, tapi tampilannya selalu ngikutin zaman.”
Martabak Manis dan Gaya Hidup Generasi Baru
Dalam satu dekade terakhir, martabak manis mengalami transformasi besar-besaran. Dulu identik dengan jajanan malam dan hanya bisa ditemukan di kaki lima. Sekarang, ia hadir di mall, dalam bentuk gerai minimalis dengan sistem pre-order, bahkan dengan strategi branding yang insta-worthy.
1. Martabak Premium: Kemasan dan Branding Modern
Brand-brand seperti Martabak Boss, Martabak Orins, hingga Martabak Pecenongan 65A mulai menyasar segmen pasar yang lebih muda, melek tren, dan aktif di media sosial. Mereka menyulap martabak menjadi produk lifestyle.
Bukan cuma soal rasa, tapi juga bagaimana martabak dipresentasikan. Mulai dari kotak eksklusif, logo kekinian, hingga pilihan martabak “mini bites” yang cocok untuk nongkrong atau dibagikan saat nonton bareng drama Korea.
2. Martabak sebagai Hadiah
Martabak kini bukan lagi makanan spontan. Banyak orang membelinya sebagai hadiah, bingkisan ulang tahun, atau bahkan oleh-oleh resmi. Beberapa gerai bahkan menawarkan custom topping dan kartu ucapan. Siapa sangka, martabak bisa bersaing dengan bouquet bunga?
3. Adaptasi Gaya Hidup Sehat
Meski mayoritas martabak manis tetap “bersalah” secara kalori, mulai muncul varian rendah gula, bebas gluten, dan bahkan vegan. Beberapa tempat juga mengganti mentega dengan minyak kelapa organik dan mengurangi susu kental manis.
Saya pernah mencoba martabak “diet” ini di daerah Cikajang. Rasanya tetap enak, meskipun jujur… saya kangen rasa “dosa manis” dari versi klasiknya. Tapi dari sini kita bisa melihat bahwa martabak manis berani menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.
Martabak Manis di Mata Dunia – Duta Kuliner Indonesia?
Sebagai bagian dari kuliner jalanan Indonesia yang paling dicintai, martabak manis punya potensi besar untuk dikenalkan lebih luas di panggung global. Saat ini, ia sudah mulai muncul di beberapa restoran Indonesia di luar negeri, seperti di Amsterdam, Melbourne, hingga New York.
1. Rebranding Menjadi “Indonesian Sweet Pancake”
Banyak ekspatriat atau pelancong asing yang awalnya menganggap martabak manis mirip pancake atau crêpe. Namun setelah mencoba, mereka sadar ini berbeda. Lebih kaya rasa, lebih padat topping, dan lebih “berani”.
Brand UMKM asal Indonesia di beberapa kota luar negeri bahkan mulai memasarkan martabak dengan nama “Indonesian Sweet Thick Pancake” agar lebih mudah dikenali.
2. Kolaborasi Internasional
Pernah dengar martabak manis dengan topping karamel Jepang atau gelato Italia? Di Bali dan Jakarta, restoran fusion mencoba membuat cross-culture martabak yang memadukan tekstur martabak Indonesia dengan topping luar negeri. Salah satu yang cukup terkenal adalah martabak manis dengan topping crème brûlée dan rum caramel. Rasanya? Aneh… tapi surprisingly enak!
Seorang WNA asal Prancis yang saya temui di Ubud bilang, “I’ve never had dessert this rich. It’s like five desserts in one.” Itu pujian besar, considering dia seorang pastry chef.
Masa Depan Martabak Manis – Antara Warisan dan Inovasi
Dengan semua popularitas dan evolusinya, satu pertanyaan muncul: Ke mana martabak manis akan melangkah berikutnya?
1. Kembali ke Akar Tradisional
Beberapa penjual martabak mulai mengembalikan resep ke asalnya: adonan tanpa pengembang instan, menggunakan tungku arang, dan topping klasik tanpa gimmick. Mereka menyasar pasar yang mencari nostalgia dan rasa autentik. Konsep ini mulai tumbuh di Yogyakarta dan Solo.
2. Masuk ke Rantai Ritel Modern
Bayangkan jika suatu saat martabak manis hadir dalam bentuk beku siap masak di supermarket. Atau varian dry-mix yang bisa kamu masak sendiri di rumah ala pancake mix. Saat ini sudah ada beberapa percobaan UMKM ke arah sana.
3. Ekspansi Franchise Global
Beberapa brand martabak premium di Indonesia mulai membuka peluang waralaba ke luar negeri. Jika berhasil, bukan tidak mungkin dalam lima tahun ke depan kita akan melihat Martabak Manis di food court Dubai atau Tokyo. Bukan impian kosong, karena rasa sudah terbukti punya pasar.
Dan di atas semua itu, yang membuat martabak manis tetap relevan bukan hanya topping-nya, atau teknik memasaknya—melainkan karena ia selalu hadir di momen kebersamaan. Dari nongkrong anak kosan, kumpul keluarga, sampai perayaan kecil di kantor—martabak manis selalu jadi pemanis suasana.
Penutup: Martabak Manis, Pemanis Hidup yang Tidak Pernah Salah Waktu
Kalau boleh jujur, sulit rasanya membayangkan malam di Indonesia tanpa martabak manis. Ia bukan hanya makanan, tapi juga perasaan. Perasaan hangat, penuh gula, kadang terlalu manis, tapi selalu bikin ketagihan. Persis seperti hubungan yang bikin gagal move on.
Martabak manis adalah bukti bahwa warisan kuliner tidak harus kaku. Ia bisa tumbuh, beradaptasi, dan tetap relevan. Dan siapa tahu, satu saat nanti, ia akan menjadi duta kuliner Indonesia yang benar-benar mendunia—dikenal, dicintai, dan dibanggakan.
Jadi, kalau malam ini kamu bingung mau makan apa, mungkin sudah waktunya memesan seporsi martabak manis. Karena di balik loyang bundar itu, ada rasa yang selalu bisa pulang ke hati.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Lotte Ghana: Pengalaman Cokelat Lumer yang Bikin Nagih!