Char Siu

Char Siu: Menyusuri Jejak Gurih Si Daging Panggang Goltogel

Saya masih ingat jelas kapan pertama kali mencicipi Char Siu. Waktu itu, usia saya baru 13 tahun. Ayah mengajak saya ke kawasan Pecinan di Semarang—tepatnya ke warung legendaris bernama “Ko A Tjie.” Bangunan tua, lampu kuning hangat, dan suara pisau beradu dengan talenan kayu jadi latar pembuka sebelum sepiring nasi campur mendarat di meja.

Di sana, saya mengenal irisan daging merah mengilap, tepiannya sedikit gosong, harum kecap dan madu menyergap begitu tutup plastik dibuka. Daging itu adalah charsiu.

Satu gigitan, dan saya langsung tahu: ini bukan sembarang daging panggang. Ini adalah sesuatu yang lebih kompleks—ada rasa manis, asin, aroma fermentasi halus dari saus hoisin, ditambah tekstur yang juicy tapi tetap punya gigitan. Sejak itu, saya jatuh cinta. Dan belasan tahun kemudian, saya menulis ini sebagai bentuk tribut untuk satu dari sedikit makanan yang bisa menggugah ingatan masa kecil, sejarah panjang, dan teknik memasak dengan tingkat presisi tinggi.

Char siu bukan cuma menu. Ia adalah cerita.

Asal-Usul Char Siu: Dari Pedalaman Guangdong ke Seluruh Dunia

Char Siu

Secara harfiah, “char siu” (叉燒) berarti “panggang garpu”—karena dalam versi tradisionalnya, daging ditusuk dengan garpu logam panjang lalu digantung di atas bara api atau oven arang. Makanan ini berasal dari wilayah Kanton (Guangdong), dan merupakan bagian penting dari tradisi kuliner Kantonis yang memuja keseimbangan rasa dan estetika penyajian.

Di Tiongkok, char siu biasa ditemukan dalam stall daging panggang (siu mei) bersama roast duck (ya siu), roast pork belly (siu yuk), dan ayam Hainan. Tapi yang membedakan charsiu adalah warnanya yang merah mengilap dan rasanya yang “playful”—bermain di antara manis dan gurih, dengan sedikit hint fermentasi dari bahan seperti saus hoisin atau angciu.

Bahkan di Indonesia, kita bisa temukan char siu dari ujung Sumatra hingga Bali—dengan sentuhan lokal seperti tambahan sambal bawang atau nasi gurih sebagai pasangan.

Yang menarik? Meski beradaptasi, esensi rasa charsiu tetap bertahan.

Bumbu dan Teknik: Rahasia Dibalik Rasa Karamelis Manis-Gurihnya

Membuat char siu sejatinya bukan soal rumit. Tapi untuk mendapatkan rasa dan tampilan yang “pas,” butuh teknik, waktu, dan intuisi rasa yang dibangun lewat latihan.

Komposisi Bumbu Klasik

Bahan utama bumbu charsiu meliputi:

  • Saus hoisin

  • Kecap asin

  • Kecap manis atau gula merah

  • Angciu (arak masak Cina)

  • Madu

  • Bawang putih cincang

  • Bubuk lima rempah (five spice powder)

Untuk warna merah khasnya, di zaman dulu digunakan pewarna alami seperti biji annatto. Tapi kini banyak resep memakai pewarna makanan merah, atau bahkan skip sama sekali demi alasan kesehatan.

Setelah daging direndam dalam bumbu selama minimal 12 jam (idealnya 24), daging kemudian dipanggang di oven dengan suhu menengah. Selama proses ini, lapisan bumbu akan karamelisasi, menciptakan permukaan mengilap dan sedikit gosong di tepi—bagian favorit banyak penggemar charsiu.

Jenis Daging

Bagian terbaik untuk char siu adalah pork shoulder (bahu babi) karena punya perbandingan lemak dan daging yang seimbang. Beberapa versi memakai pork belly untuk hasil lebih juicy dan melt-in-the-mouth, tapi ini tergantung selera.

Teknik Panggang

Di restoran tradisional, daging digantung dan dipanggang di oven arang silinder. Di rumah, kita bisa menirunya dengan oven biasa, atau bahkan air fryer—asal proses pemanggangan dilakukan bertahap dan daging disiram sisa bumbu agar terbentuk glaze cantik.

Tips dari chef lokal: “Jangan buru-buru. Panggang pelan-pelan, dan jangan lupa resting setelah matang.”

Char Siu dalam Hidangan: Kombinasi Terbaik dan Interpretasi Modern

Char Siu

Char siu memang bisa berdiri sendiri. Tapi kekuatannya makin terasa saat dipadukan dengan komponen lain dalam satu piring.

a. Nasi Campur Klasik

Pasangan paling umum. Irisan charsiu disajikan dengan nasi putih, telur rebus kecap, dan kadang irisan timun. Disiram saus kental berwarna merah tua yang terbuat dari sisa marinade. Kombinasi ini adalah comfort food sejuta umat.

b. Mie Char Siu

Char siu juga sering jadi topping mie pangsit. Daging disajikan di atas mie lurus kenyal, ditemani sayur sawi dan pangsit rebus. Di beberapa tempat, kuah kaldu terpisah disajikan sebagai pendamping.

c. Bao dan Roti Panggang

Di ranah dim sum, charsiu diubah jadi filling manis-gurih dalam roti kukus (char siu bao) atau roti panggang (char siu sou). Bagian ini cocok untuk pencinta makanan ringan.

d. Versi Fusion dan Kekinian

Restoran modern kini banyak berkreasi dengan char siu. Ada yang menyajikannya dalam taco, burger, atau bahkan sebagai topping pizza. Chef muda di Jakarta bahkan pernah membuat “char siu sushi roll” yang surprisingly enak—kombo daging panggang dan acar jahe dalam gulungan nasi Jepang.

Inilah bukti bahwa meski resepnya kuno, charsiu punya fleksibilitas untuk terus hidup dalam bentuk baru.

Tempat Menikmati Char Siu Terbaik di Indonesia (dan Sedikit Cerita di Baliknya)

Kalau kamu tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan, kemungkinan besar kamu sudah pernah melihat atau mencicipi char siu. Tapi tidak semua tempat punya rasa yang memorable.

Berikut beberapa tempat yang—dari pengalaman dan cerita komunitas kuliner—layak dicoba:

a. Babi Panggang Hwa Nam – Glodok, Jakarta

Warung ini sudah berdiri sejak 1950-an. Mereka mempertahankan metode panggang goltogel tradisional dan selalu menggunakan daging segar harian. Salah satu pelanggan tetap, Pak Albertus (usia 68), berkata, “Saya makan char siu di sini sejak masih pacaran. Rasa dan gosong-gosong di pinggirannya nggak pernah berubah.”

b. Restoran Titiles – Surabaya

Restoran ini dikenal karena konsistensi kualitas daging dan bumbu yang berani. Charsiu mereka lebih gelap dan agak manis, cocok untuk lidah Jawa Timur. Tambahan sambal tomat pedas di sisi piring membuat rasa jadi makin kompleks.

c. Char Siu Bali – Denpasar

Menariknya, di Bali ada restoran vegan yang membuat char siu dari jamur tiram. Namanya “Shiok Plant Kitchen,” dan rasanya… surprisingly legit. Tidak sama 100%, tapi tekstur dan aroma mirip sekali. Cocok untuk vegetarian atau flexitarian.

Setiap tempat punya cerita, dan dari pengalaman saya, rasa charsiu terbaik tidak selalu ditemukan di tempat mewah. Kadang, warung kecil dengan pencahayaan seadanya bisa menyajikan pengalaman makan yang jauh lebih dalam dari yang kita duga.

Char Siu dan Identitas Kuliner Asia: Simbol Warisan, Adaptasi, dan Nostalgia

Mengapa kita terus memakan char siu? Mengapa makanan ini, meski bukan bagian dari masakan nasional Indonesia, bisa tetap hidup dan dicintai?

Jawabannya terletak pada kekuatannya sebagai “rasa yang membekas.” Dalam konteks diaspora Tionghoa, charsiu adalah pengikat identitas. Bagi generasi kedua atau ketiga, ini adalah cara mereka terkoneksi dengan akar leluhur—lewat piring dan aroma.

Di sisi lain, adaptasi char siu ke berbagai bentuk kuliner lokal menunjukkan bahwa makanan ini bukan hanya milik satu budaya. Ia mampu menyeberang, berdialog, dan akhirnya menyatu dalam lanskap rasa yang lebih luas.

Char siu bukan lagi milik restoran. Ia hidup di dapur rumah. Di hati mereka yang ingin mengingat, atau sekadar menyambut.

Penutup: Dari Dapur Kanton ke Meja Makan Kita

Char siu adalah daging babi panggang manis yang lebih dari sekadar hidangan. Ia adalah cerminan warisan, adaptasi, dan cinta terhadap rasa.

Mulai dari pedagang jalanan di Hong Kong, warung legendaris di Glodok, hingga chef muda yang berinovasi dengan sentuhan modern—semuanya menambah lapisan cerita pada satu jenis daging merah yang terus bertahan.

Kalau kamu belum pernah mencoba char siu, mulailah dari yang klasik: nasi campur sederhana di kedai tua. Kalau kamu sudah lama jadi penggemar, mungkin ini waktunya mencoba versi rumah atau fusion-nya. Siapa tahu, kamu jatuh cinta lagi—dengan rasa lama dalam bentuk baru.

Dan kalau kamu punya cerita tentang charsiu favoritmu—baik itu kenangan masa kecil, resep turun-temurun, atau tempat rahasia di kotamu—jangan ragu untuk membagikannya.

Karena seperti banyak makanan terbaik di dunia, char siu adalah soal rasa dan cerita. Dan keduanya, seperti biasa, lebih nikmat kalau dibagikan.

Baca Juga Artikel dari: Soto Tangkar: Semangkuk Sejarah, Rempah, dan Rasa Jakarta

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Author