Kerak Telor

Kerak Telor: Menjaga Tradisi Kuliner Betawi dari Telur dan Ketan

Waktu pertama kali aku nyobain kerak telor, jujur aja, aku nggak langsung suka. Teksturnya yang agak kering di pinggir, rasa kelapa sangrai yang tajam, dan aroma ebi yang menyengat—semua itu terasa asing di lidahku yang terbiasa makanan cepat saji dan bumbu instan. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dari makanan ini yang bikin aku penasaran. Ada nuansa sejarah, aroma masa lalu, dan semangat budaya yang susah dijelaskan dengan kata-kata.

Dan setelah beberapa kali mencoba, melihat langsung proses pembuatannya, dan ngobrol dengan para penjual kerak telor di Jakarta, aku akhirnya jatuh cinta. Bukan cuma pada rasanya, tapi pada makna dan nilai yang dibawa oleh makanan sederhana ini.

Apa Itu Kerak Telor?

Apa Itu Kerak Telor

Kerak telor adalah makanan khas Betawi yang terbuat dari campuran ketan putih, telur bebek atau ayam, ebi (udang kering), serundeng (kelapa parut sangrai), bawang goreng, dan bumbu rahasia khas pedagangnya. Semua bahan ini dimasak di atas wajan kecil yang kemudian dibalik menghadap bara arang agar bagian atasnya matang tanpa menggunakan minyak.

Proses masaknya unik. Sering kali si abang kerak telor masak sambil jongkok di pinggir wajan arang, sambil memutar wajan sampai adonan lengket, lalu dibiarkan terbakar pelan sampai membentuk kerak di bagian bawah. Di situlah letak kenikmatannya—ada rasa gosong yang khas, gurih kelapa, dan renyah ebi yang berpadu sempurna.

Sejarah Singkat Kerak Telor

Konon, kerak telor sudah dikenal sejak zaman Batavia, sekitar awal abad ke-20. Dulu makanan ini disajikan untuk kalangan menengah ke atas, dan sering muncul di acara hajatan warga Betawi.

Dalam perjalanannya, kerak telor jadi identik dengan budaya Betawi, apalagi setelah muncul secara konsisten di acara Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair. Di sinilah keraktelor seperti tampil sebagai bintang utama. Baunya yang khas dari jauh udah bisa jadi penanda: “Ada abang kerak telor di sekitar sini!”

Kuliner ini nggak cuma soal rasa, tapi simbol perlawanan budaya Betawi terhadap arus modernisasi. Ketika makanan asing makin populer, kerak telor tetap bertahan sebagai “penjaga identitas”.

Pengalaman Pertama Makan di PRJ

Aku inget banget waktu kecil diajak orang tua ke PRJ. Di antara keramaian, lampu-lampu, dan suara panggung musik, aku lihat gerobak kecil dengan wajan arang dan asap mengepul. Di situ ada seorang bapak-bapak tua, tangannya lincah banget. Dia tuang adonan telur dan ketan, lalu putar wajan tanpa spatula. Mataku terpaku.

Waktu itu aku nggak langsung tertarik makan, tapi aroma ebinya nempel banget. Akhirnya setelah dibujuk, aku coba satu gigitan… dan sejak saat itu, aku tahu, ini bukan sekadar jajanan biasa.

Bahan-Bahan Kerak Telor (Versi Otentik)

Untuk kamu yang pengen coba bikin sendiri di rumah, berikut bahan dasar kerak telor yang aku catat dari salah satu pedagang Betawi asli di Rawamangun:

  • 3 sdm beras ketan putih, rendam minimal 1 jam

  • 1 butir telur bebek (bisa diganti ayam, tapi rasa sedikit beda)

  • 1 sdm ebi, rendam dan haluskan

  • 2 sdm kelapa parut setengah tua, disangrai sampai kecokelatan

  • 1/2 sdt merica

  • 1/2 sdt garam

  • 1/4 sdt gula pasir

  • 1 sdm bawang merah goreng

Semua bahan dicampur dan dimasak di atas wajan tanpa minyak. Tapi kuncinya justru ada di pematangan dari atas: wajan dibalik di atas bara. Nggak gampang memang, tapi hasilnya luar biasa.

Rasa yang Tak Bisa Digantikan

Banyak makanan bisa ditiru, bisa dimodifikasi, bahkan dibekukan dan dijual massal. Tapi kerak telor adalah pengecualian. Ini salah satu makanan yang paling sulit dikemas instan karena pengalaman makannya nggak cuma soal rasa, tapi juga aroma, tekstur, dan bahkan suara “kriuk” saat digigit.

Menurutku, rasa kerak telor itu seperti simfoni gurih: ada renyah dari serundeng, asin dari ebi, aroma smokey dari ketan yang terbakar, dan legit dari telur yang matang setengah gosong. Sulit digantikan dengan versi beku atau microwave.

Cerita dari Pedagang Kerak Telor

Aku sempat ngobrol dengan Pak Darto, seorang pedagang kerak telor yang sudah berjualan lebih dari 20 tahun. Beliau cerita, sejak dulu resepnya nggak pernah berubah. Tapi tantangannya sekarang lebih ke lokasi dan minat anak muda yang makin jarang mencicipi makanan tradisional.

“Ada kalanya dalam sehari cuma laku tiga porsi,” katanya sambil tetap tersenyum. “Tapi kalau di acara budaya, bisa 50 porsi ludes.”

Beliau percaya bahwa kerak telor akan tetap hidup selama masih ada yang mau menceritakan dan menyajikannya dengan bangga. “Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” ujarnya mantap.

Kenapa Kerak Telor Harus Dilestarikan?

  1. Warisan Budaya Betawi
    Makanan ini adalah bagian dari identitas Jakarta. Saat kota ini makin modern dan global, kerak telor jadi semacam pengingat dari mana kita berasal.

  2. Proses Masak Tradisional
    Menggunakan arang, wajan tanah atau besi, tanpa minyak. Semua itu bukan hanya teknik, tapi juga filosofi.

  3. Rasa yang Otentik dan Unik
    Cita rasa kerak telor nggak bisa ditemui di makanan manapun di dunia.

  4. Nilai Historis dan Sosial
    Dulu jadi makanan pesta rakyat, sekarang jadi simbol semangat mempertahankan budaya lokal.

Kerak Telor dan Generasi Milenial

Masalahnya, banyak anak muda sekarang belum pernah coba kerak telor. Bahkan ada yang belum tahu bentuknya. Ini tantangan besar.

Tapi aku lihat ada secercah harapan. Beberapa food blogger dan akun TikTok mulai mengangkat kembali keraktelor sebagai “street food hidden gem”. Ada juga yang bereksperimen dengan topping baru: seperti topping keju, sosis, atau versi mini buat camilan kekinian.

Aku pribadi nggak masalah selama modifikasi itu tetap menghormati akar resepnya. Justru bisa jadi cara baru untuk memperkenalkan kerak telor ke generasi selanjutnya.

Apakah Kerak Telor Bisa Mendunia?

Menurutku, bisa banget. Tapi dengan syarat:

  • Harus ada edukasi tentang asal-usulnya

  • Penyajiannya tetap mempertahankan teknik asli

  • Cerita di balik makanan harus dikemas menarik

Makanan ini bisa jadi ikon kuliner Jakarta di mata dunia, asal kita serius menjadikannya brand budaya. Sama seperti pho dari Vietnam, takoyaki dari Jepang, atau kimchi dari Korea—semua butuh narasi kuat.

Upaya Pemerintah dan Komunitas

Beberapa tahun terakhir, aku lihat Pemprov DKI dan komunitas budaya mulai lebih serius mempromosikan makanan Betawi, termasuk kerak telor. Di acara seperti Festival Palang Pintu, Lebaran Betawi, dan Jakarta Culinary Festival, keraktelor hampir selalu hadir.

Dan menurut data dari Good News From Indonesia, kerak telor masuk dalam daftar kuliner warisan budaya tak benda yang harus dilestarikan. Ini langkah penting, tapi tentu butuh dukungan nyata dari kita semua.

Tips Membuat Versi Kerak Telor Rumahan

Kalau kamu nggak punya wajan arang, jangan khawatir. Ini beberapa tips buat kamu yang pengen coba versi rumahan:

  • Gunakan teflon anti lengket

  • Setelah bagian bawah matang, tutup wajan dengan tutup kaca supaya bagian atas cepat matang

  • Gunakan api kecil dan sabar!

  • Untuk efek gosong khas, kamu bisa panggang sebentar di oven suhu tinggi 2–3 menit

Hasilnya memang nggak seotentik versi abang-abang, tapi lumayan buat nostalgia dan belajar menghargai proses.

Penutup: Dari Ketan, Telur, dan Cinta pada Tradisi

Kerak telor bukan cuma makanan. Ia adalah bukti bahwa cinta pada tradisi bisa bertahan lewat wajan panas dan bara arang. Bahwa meskipun dunia berubah, kita masih punya rasa yang tak tergantikan. Dan selama masih ada orang yang penasaran, ingin mencoba, dan bercerita—kerak telor akan tetap hidup.

Aku bangga setiap kali mencicipi kerak telor. Bukan cuma karena rasanya, tapi karena setiap gigitannya membawa aku lebih dekat ke akar, ke masa lalu, ke Jakarta yang sederhana, hangat, dan penuh cerita.

Jangan cuma asal buat, cek cara memasak bakwan yang renyah dan tahan lama: Resep Bakwan Renyah: Garing di Luar, Lembut di Dalam

Author