Jakarta, blessedbeyondwords.com – Di tengah hiruk pikuk Jakarta, ada satu aroma yang mampu menghentikan langkah banyak orang: harum pisang goreng panas yang baru saja diangkat dari wajan. Tidak sembarang pisang goreng, melainkan pisang goreng Pasar Baru—kuliner sederhana yang telah menjelma jadi legenda di ibukota.
Pasar Baru, yang berdiri sejak era kolonial Belanda, bukan hanya dikenal sebagai pusat belanja tekstil, tapi juga sebagai surga kuliner jalanan. Di antara deretan pedagang kaki lima, warung tua, hingga jajanan modern, pisang goreng tetap bertahan sebagai favorit lintas generasi. Sederhana, murah, namun kaya rasa.
Kisah pisang goreng di kawasan ini tidak hanya soal makanan, melainkan tentang budaya, nostalgia, dan pengalaman hidup. Banyak yang bilang, kalau belum mencicipi pisang goreng Pasar Baru, berarti belum benar-benar mengenal denyut nadi Jakarta lama.
Sejarah Pisang Goreng Pasar Baru, Jejak Kuliner Betawi
Pisang goreng mungkin terdengar biasa, tapi di Pasar Baru, ia punya kisah panjang. Pada awal abad ke-20, pedagang Tionghoa dan Betawi yang berdagang di sekitar pasar mulai menjual camilan ini sebagai teman teh atau kopi.
Kala itu, pisang dianggap makanan rakyat. Murah, mudah didapat, dan mengenyangkan. Ketika digoreng dengan adonan tepung tipis, aroma karamelisasi pisang bercampur gurih minyak goreng menciptakan cita rasa yang menenangkan. Dari sanalah popularitas pisang goreng Pasar Baru tumbuh, terutama di kalangan pekerja dan pelintas jalan.
Ada satu kisah turun-temurun dari keluarga pedagang di Pasar Baru. Seorang ibu Tionghoa-Peranakan konon mempopulerkan pisang goreng dengan tepung beras renyah sekitar tahun 1930-an. Resep itu diwariskan ke anak cucunya, dan hingga kini masih digunakan di beberapa kios tua.
Seiring waktu, pisang goreng Pasar Baru menjadi identitas kuliner kawasan. Ia hadir bukan hanya di warung kecil, tapi juga di restoran legendaris yang sudah berdiri puluhan tahun.
Rahasia Rasa – Dari Pisang Hingga Adonan Tepung
Apa yang membuat pisang goreng Pasar Baru berbeda dari sekadar gorengan biasa di pinggir jalan? Jawabannya ada di pemilihan bahan dan teknik sederhana namun penuh detail.
-
Pisang Pilihan
Pisang kepok dan pisang raja menjadi favorit. Keduanya punya tekstur padat, manis alami, dan tidak hancur saat digoreng. Pedagang yang berpengalaman biasanya tahu persis kapan pisang harus dipetik agar rasanya pas—tidak terlalu mentah, tidak terlalu matang. -
Adonan Tepung Rahasia
Adonan pisang goreng Pasar Baru biasanya menggunakan campuran tepung beras, tepung terigu, dan sedikit tepung tapioka. Ada yang menambahkan kelapa parut, wijen, atau bahkan sedikit santan untuk menambah gurih. Tepung inilah yang menciptakan lapisan renyah di luar, sementara daging pisang tetap lembut di dalam. -
Teknik Menggoreng
Kedengarannya sederhana, tapi menggoreng pisang adalah seni. Minyak harus benar-benar panas, pisang digoreng dalam waktu singkat agar renyah tanpa menyerap terlalu banyak minyak. Pedagang berpengalaman tahu persis kapan harus mengangkat pisang hanya dengan melihat warna keemasan kulitnya. -
Sentuhan Akhir
Beberapa pedagang menambahkan gula bubuk, keju parut, atau susu kental manis. Namun, penggemar lama lebih suka versi polos yang hanya mengandalkan manis alami pisang.
Seorang pelanggan setia pernah bilang, “Kalau gigitannya bikin bunyi kres, berarti itu pisang goreng asli Pasar Baru.”
Pisang Goreng Sebagai Ikon Nostalgia
Bagi banyak orang, pisang goreng Pasar Baru bukan sekadar camilan, melainkan pintu ke masa lalu.
Bayangkan seorang kakek yang dulu semasa muda bekerja di toko tekstil Pasar Baru. Setiap sore, ia selalu membeli pisang goreng untuk dibawa pulang ke rumah. Bertahun-tahun kemudian, ketika ia kembali bersama cucunya, aroma yang sama membangkitkan kenangan—tentang masa mudanya, tentang suasana Jakarta lama, dan tentang momen sederhana yang kini terasa mewah.
Di era modern, pisang goreng tetap relevan. Anak muda yang biasa nongkrong di kafe kekinian pun sering mampir untuk mencari camilan ini. Menariknya, mereka tidak hanya mencari rasa, tapi juga pengalaman: duduk di bangku kayu tua, melihat pedagang menggoreng pisang dengan wajan hitam besar, sambil mendengar hiruk pikuk khas pasar.
Ada sesuatu yang tulus dari suasana itu. Pisang goreng Pasar Baru tidak dibuat untuk estetika Instagram semata, tetapi untuk dinikmati hangat-hangatnya, seringkali dengan kertas minyak yang menyerap minyak berlebih. Nostalgia yang otentik.
Inovasi Pisang Goreng – Dari Tradisional ke Kekinian
Meski terkenal dengan keaslian resepnya, pisang goreng Pasar Baru juga ikut bertransformasi mengikuti selera zaman.
-
Pisang Goreng Topping
Kini, ada yang menambahkan topping modern seperti cokelat leleh, keju mozarella, hingga matcha. Bagi sebagian orang, ini menambah daya tarik baru. Meski begitu, tidak sedikit yang tetap setia pada versi klasik. -
Pisang Goreng Mini
Beberapa pedagang membuat inovasi dengan ukuran kecil, lebih praktis disantap dan cocok untuk dijual dalam box kekinian. -
Kolaborasi dengan Kafe Modern
Ada juga kedai kopi yang menyajikan pisang goreng sebagai menu pendamping latte. Menariknya, kombinasi kopi pahit dan pisang goreng manis ternyata berhasil mencuri perhatian anak muda. -
Versi Beku untuk Oleh-Oleh
Seiring meningkatnya wisata kuliner, beberapa penjual menawarkan pisang goreng frozen. Wisatawan bisa membawanya pulang, lalu menggoreng sendiri di rumah.
Transformasi ini menunjukkan bahwa pisang goreng Pasar Baru tidak hanya bertahan, tetapi juga beradaptasi. Ia tetap menjaga akar tradisional, namun berani tampil modern.
Pisang Goreng Pasar Baru di Mata Wisatawan
Wisatawan lokal maupun mancanegara sering menjadikan Pasar Baru sebagai destinasi kuliner. Di antara sate, bakso, hingga martabak, pisang goreng selalu masuk daftar rekomendasi.
Banyak traveler asing yang terpesona dengan kesederhanaan camilan ini. Seorang turis asal Belanda pernah mengatakan bahwa pisang goreng mengingatkannya pada camilan masa kecil di negaranya, meski dengan rasa yang lebih autentik dan renyah.
Bagi wisatawan domestik, pisang goreng ini sering dijadikan oleh-oleh. Mereka rela antre panjang hanya untuk membawa pulang beberapa bungkus ke keluarga.
Media lokal pun sering mengulas pisang goreng Pasar Baru sebagai kuliner wajib coba. Bahkan, beberapa kali camilan ini masuk liputan televisi sebagai makanan jalanan legendaris yang masih eksis di tengah modernisasi Jakarta.
Anekdot – Dari Pedagang hingga Pecinta Pisang Goreng
Bayangkan seorang pedagang bernama Pak Hasan, yang sudah berjualan pisang goreng di Pasar Baru sejak tahun 1985. Setiap pagi, ia menyiapkan pisang dari kebun saudaranya di Bogor. Dengan tangan cekatan, ia mencelupkan pisang ke adonan, lalu memasukkannya ke wajan besar.
Suara desis minyak, aroma harum, dan tawa pelanggan setia menjadi musik harian di kios kecilnya. Pak Hasan sering berkata, “Yang bikin saya bahagia bukan cuma uang, tapi melihat orang ketawa sambil makan pisang goreng saya.”
Di sisi lain, ada cerita dari seorang mahasiswa bernama Lila yang kos di Jakarta. Saat rindu kampung halaman, ia selalu membeli pisang goreng. Katanya, rasanya mirip buatan ibunya di kampung. “Setiap gigitan itu seperti pulang,” ujarnya pelan.
Anekdot seperti ini menegaskan bahwa pisang goreng bukan hanya soal rasa, tapi juga soal emosi dan kenangan.
Penutup: Pisang Goreng Pasar Baru, Cermin Sederhana dari Kaya Budaya
Di tengah derasnya arus kuliner modern, pisang goreng Pasar Baru tetap berdiri tegak sebagai simbol otentisitas. Ia bukan hanya makanan ringan, melainkan warisan budaya yang menyatukan orang dari berbagai latar belakang.
Bagi sebagian orang, ia adalah nostalgia. Bagi pedagang, ia adalah penghidupan. Dan bagi wisatawan, ia adalah pengalaman unik yang hanya bisa ditemukan di jantung Jakarta.
Mungkin inilah alasan mengapa pisang goreng Pasar Baru disebut legendaris. Ia mengajarkan kita bahwa kadang, kebahagiaan tidak perlu dicari dalam hidangan mahal. Cukup dalam sepotong pisang goreng hangat, renyah di luar, lembut di dalam, yang disantap di antara hiruk pikuk pasar tua.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Sate Taichan Senayan: Kuliner Kekinian dengan Cita Rasa Unik