Kuliner Jawa Tengah, saya duduk di bawah pohon rindang dekat Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Di tangan saya, sepincuk gudeg panas berisi nangka muda yang dimasak selama berjam-jam, disiram areh kental, dan ditemani krecek serta telur bacem. Suap pertama — manis, legit, dan entah bagaimana, bikin saya ingat pelukan ibu.
Gudeg adalah titik awal saya jatuh cinta pada kuliner Jawa Tengah. Tapi petualangan saya tak berhenti di situ. Semakin saya menjelajah, dari Semarang hingga Solo, dari desa kecil di Magelang hingga gang sempit di Pekalongan, saya sadar: setiap daerah punya bahasa rasa sendiri.
Dan lewat makanan, kita bisa menyentuh sejarah, emosi, bahkan spiritualitas masyarakatnya. Di tanah Jawa, makanan bukan hanya untuk kenyang. Tapi untuk mengenang, menyatukan, dan merawat akar.
Memulai Perjalanan Rasa — Di Mana Cita Rasa Lahir dari Tradisi
Gudeg, Lapis Legit Rasa dan Waktu dari Yogyakarta
Mari kita mulai dari gudeg. Makanan ikonik Yogyakarta ini sering disalahpahami. Banyak orang bilang terlalu manis. Tapi sejujurnya, itu hanya bagian dari cerita.
Gudeg terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan, gula merah, daun jati, dan bumbu rempah selama 6–12 jam. Waktunya lama, tapi itu justru intinya: kesabaran.
Gudeg sendiri punya banyak versi:
- Gudeg kering: tahan lama, biasanya untuk oleh-oleh
- Gudeg basah: lebih lembap, kaya kuah areh
- Gudeg Solo: lebih gurih dan cenderung tidak terlalu manis
Saya pernah berbincang dengan Bu Darmi, penjual gudeg di daerah Wijilan. “Resep ini dari ibu saya, dulu kami masak pakai kayu bakar, Mas. Rasanya beda. Api kecil bikin bumbu meresap pelan-pelan,” tuturnya sambil tersenyum.
Makan gudeg bukan hanya soal rasa. Tapi soal mengenal ritme lambat — sesuatu yang jarang kita temui di zaman instan.
Soto Kudus, Rawon, dan Semangkuk Sejarah
Di Kudus, saya bertemu dengan Soto Kudus. Dibandingkan soto daerah lain, versi ini disajikan dalam mangkuk kecil — katanya sebagai penghormatan terhadap tradisi wihara dan konsep kesederhanaan.
Isinya? Daging ayam suwir, tauge, dan kuah bening beraroma bawang putih. Ringan, tapi menyentuh.
Sementara di Blora, ada Soto Blora yang lebih kompleks: kuah gurih dari kaldu sapi, sambal kacang, dan kerupuk gendar sebagai pelengkap.
Kemudian saya pindah ke Semarang dan mencicipi Rawon Setan — rawon versi lokal dengan potongan daging besar dan kuah hitam pekat dari kluwek. Meski rawon identik dengan Jawa Timur, versi Semarang punya sentuhan lebih manis dan aroma lebih kalem.
Satu hal yang menyatukan semua ini adalah filosofi: makanan sebagai penyatu komunitas. Soto bukan cuma sup. Tapi cara orang ngobrol, berbagi, dan merasa nyaman di tempat yang hangat.
Garang Asem, Nasi Liwet, dan Warisan Rasa dari Dapur Keraton
Nah, kini saatnya bicara tentang dua bintang lain dari kuliner Jawa Tengah: Garang Asem dan Nasi Liwet.
Garang Asem berasal dari Grobogan dan Solo, dikenal sebagai ayam kukus dalam daun pisang dengan kuah asam segar dari belimbing wuluh dan cabai rawit. Rasanya unik — pedas, asam, gurih, dan menyegarkan. Disajikan hangat, aromanya menenangkan.
Saya makan garang asem buatan tangan seorang ibu di Pasar Gede, Solo. Saat membukanya dari bungkus daun pisang, aroma rempah langsung menyeruak. “Nenek saya dulu bikin ini tiap Lebaran. Ini rasa keluarga,” katanya.
Nasi Liwet, makanan khas Solo lainnya, adalah simfoni rasa. Nasi gurih dengan santan, sayur labu siam, suwiran ayam, telur pindang, dan areh. Disajikan di daun pisang, nasi liwet menggabungkan rasa rumahan dan kemewahan dapur bangsawan.
Di balik kedua hidangan ini, ada jejak keraton dan kebiasaan masyarakat agraris: menyatu dengan alam, memanfaatkan bahan lokal, dan meracik dengan cinta.
Tak Hanya Soal Lidah — Kuliner Jawa Tengah sebagai Warisan Budaya
Makanan bukan sekadar rasa. Ia adalah cerita, jejak budaya, bahkan alat diplomasi sosial. Di Jawa Tengah, kuliner bukan hanya untuk disantap, tapi juga untuk dibagikan dalam momen penting: kenduri, syukuran, sedekah bumi.
Kopi klotok di lereng Merapi, misalnya, bukan cuma minuman. Tapi ruang ngobrol, mengenang, dan merayakan hari biasa.
Tahu petis di Semarang, sederhana tapi menggambarkan kreativitas rakyat biasa: bagaimana sisa makanan bisa diubah jadi camilan lezat.
Bahkan serabi Notosuman di Solo punya sejarah panjang sebagai oleh-oleh keluarga keraton.
Jawa Tengah mengajarkan kita bahwa makanan bukan hanya apa yang kita makan. Tapi bagaimana kita menyiapkan, membagi, dan mengenang.
Membaca Rasa, Menyentuh Jiwa Lewat Kuliner
Menjelajah kuliner Jawa Tengah adalah pengalaman spiritual. Kita diajak memahami nilai sabar dari gudeg, rasa hangat dari semangkuk soto, kesegaran dari garang asem, hingga kompleksitas nasi liwet.
Di balik setiap sajian, ada tangan-tangan ibu, nenek, dan pedagang pasar yang menjaga warisan rasa agar tidak hilang.
Dan seperti kata Bu Darmi: “Rasa itu datang kalau kita masak dengan hati.”
Baca Juga Artikel dari: Sup Asparagus Kepiting: Lezat, Ringan, dan Segar Ala Gengtoto
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food